ANALISIS
KASUS “CHARLIE HEBDO”
OLEH:
NAMA: HENDRIK KIAWAN
WIRANTANUS
NIM/KELAS: 2014 1 011 0311 302 / III – A
DOSEN PENGAMPU: CEKLI SETYA PRATIWI, SH., LL.M.
__________________________________________________________________________________
NIM/KELAS: 2014 1 011 0311 302 / III – A
DOSEN PENGAMPU: CEKLI SETYA PRATIWI, SH., LL.M.
__________________________________________________________________________________
A.
DESKRIPSI / KASUS POSISI
Charlie Hebdo adalah sebuah majalah yang berdiri
dari publikasi majalah lain yang bernama Hara-Kiri dan populer pada tahun
1960-an. Pada tahun 1970-an terjadi dua peristiwa besar yang berujung
berdirinya Chalie Hebdo. Kedua kejadian tersebut adalah sebuah
kebakaran di diskotek yang menewaskan lebih dari 100 orang dan mangkatnya
mantan Presiden Prancis Charles de Gaulle. Hara-Kiri menerbitkan majalah mereka
dengan judul yang mengejek kematian Gaulle: Bal tragique a Colombey - un
mort, yang berarti “Tarian tragis di Colombey (kediaman Gaulle) –
satu tewas.” Kontroversi tersebut mengakibatkanHara-Kiri ditutup.
Staf Hara-Kiri kemudian membuat majalah baru yaitu Charlie Hebdo. Menurut mereka nama tersebut dipilih
karena mereka juga mencetak komik Amerika, Charlie Brown.
Sirkulasi Charlie Hebdo memang
tidak tinggi, bahkan selama 1981 hingga 1991, majalah itu tidak terbit karena
kurang sumber daya. Namun, karena kartun halaman depan majalah itu selalu
mencolok dan judul menghasut, Charlie Hebdo selalu
dapat ditemukan di kios koran dan penjual buku. Sedangkan tema yang diusung biasanya mengenai kabar gosip dan
informasi dalam, sedangkan konten Charlie lebih kasar dan kejam - menggunakan
kartun dan ketajaman kontroversial.[1]
Pada 7 Januari 2015,
dua pria bersenjata melakukan serangan yakni dua bersaudara keturunan Aljazair Said Kouachi (Lahir 7 September 1980) dan Cherif
Kouachi (lahir 29 November
1982) yang sudah terindentifikasi oleh kepolisian Perancis sebagai tersangka
utama yang menggunakan topeng dan melakukan penembakan. Kedua pria ini berasal
dari Gennevilliers berlatang belakang etnis Aljazair kelahiran Perancis berumur
34 dan 32. Penyerangan di kantor Charlie Hebdo, menewaskan kurang lebih 12
orang dan 5 orang mengalami luka serius. Dua di antara yang tewas merupakan
petugas kepolisian. Pria bersenjata tersebut dilaporkan meneriakkan "kami telah membalaskan dendam Nabi Muhammad"
di saat melakukan serangan. Beberapa saksi mata melaporkan bahwa pria
bersenjata tersebut diidentifikasi merupakan anggota Al-Qaeda Yaman. Sedangkan
dua belas orang yang tewas tersebut selain para redaksi yang didalamnya,
petugas kepolisian, serta pakar ekonomi.
Sebelumnya “charlie hebdo” sudah sering
di unjuk rasa memprotes majalah ini, diantaranya kota-kota besar
pakistan yang meneriakkan slogan menetang karikatur Nabi Muhammad, dalam unjuk
rasa ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang muslim melainkan ribuan orang
pakistan yang diantaranya pendeta serta warga penganut Kristen.[2] Dan juga mendapat tuntutan
hukum dari kelmpok Katolik konservatif atas tuduhan penodaan agama, dalam upaya penyelesaian kasus tersebut,
Francois Hollande yang kala itu belum menjabat sebagai presiden menjadi saksi
di pengadilan tersebut dan mendukung Charlie Hebdo dengan alasan kebebasan
pers.[3]
Dalam perkembangan
kasus ini yang masih di perdebatkan adalah masalah batasan HAM (kebebasan
berekspresi), terutama di Prancis namun ada juga yang berpendapat dalam hal ini
masyarakat internasional bahwa kebebasan tersebut memiliki batasan dan harus
diakui oleh negara-negara, atau dikatakan dengan tidak bisa membenarkan alasan
tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari deskripsi kasus diatas dapat ditarik rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Yurisdiksi
apakah yang diterapkan dalam kasus ini atau kasus “Charlie Hebdo” ?
2.
Bagaimana
penerapan yurisdiksi dalam kasus ini
atau “Charlie Hebdo”?
C.
ANALISIS
Menurut saya
dalam kasus ini, yakni kasus “Charlie Hebdo” dapat dikatakan sebagai merugikan
masyarakat internasional seperti yang terdapat dalam deskripsi kasus bahwa
banyak masyarakat internasional merasa dirugikan oleh tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh “Charlie Hebdo”. Dalam hal ini dibuktikan oleh masyarakat internasional dengan tindakan
unjuk rasa yang tidak hanya dilakukan oleh satu negara, namun dengan banyak
negara. Dan jika ada beberapa negara menganggap bahwa tidakan-tindakan disahkan
dengan alasan kebebasan pers dan lain-lain. Namu dalam kasus sudah tidak bisa
dibenarkan lagi karena kasus ini memberikan
efek positif terhadap profit majalah anti-agama tersebut, dimana oplah
penjualan meningkat tajam dari biasanya dicetak ribuan, menjadi jutaan.
Sedangkan melihat dari kasus “Charlie Hebdo”
sudah sering lepas dari jeratan hukuman karena dalam kasus ini hukum Prancis
masih menganggap sebagai kebebasan berbicara (freedom of speech), akan tetapi dalam kasus ini “Charlie Hebdo”
melakukan kejahatan terhadap masyarakat internasional yang dimulai dari
wilayahnya dan kemudian diakhiri atau menimbulkan kerugian terhadap masyarakat
internasional (kebanyakan negara). Jadi, dalam hal ini Prancis harus tetap
mengadili kasus “Charlie Hebdo” karena sesuai uraian diatas bahwa “Charlie
Hebdo” sendiri mendapatkan efek positif bukan hanya permasalahan kebebasan
berbicara, akan tetapi ada unsur lain yang menjadi bisa ditindaknya yakni efek
positif tersendiri terhadap apa yang diterbitkannya.
Dalam penerapan yurisdiksinya yakni yuridiksi
teritorial subjektif bahwa Prancis harus mengambil tindakan mengadili dengan
hukuman atau menerapkan sanksi kepada “Charlie Hebdo” karena terbuktinya bahwa
hukum Prancis berlawanan dengan hukum internasional sebagaimana yang dikatakan
dalam teorinya bahwa hukum lokal tidak sesuai dengan hukum internasional.[4]
Kasus ini menunjukkan “Charlie Hebdo” menunjukkan
bahwa setelah melakukan suatu tindakan terhadap negara Prancis, dan kemdian
melarikan ata menimbulkan akibat ke negara lain dengan memanfaatkan produk
teknologi maju, dan negara ini termasuk yang memiliki kepentingan serta
memiliki kemauan dan kemampuan, maka sesungguhnya negara ini atau tempat
terjadinya kasus “Charlie Hebdo” (Prancis) harus diakui paling efektif untuk
melakukan tindakan hukum terhadap pelakunya, karena pelakunya sudah berada di
dalam genggaman kekuasaan hukumnya.
Sebagaimana menurut teorinya jika permasalahan
seperti yang diuraikan diatas negara tempat terjadinya tindakan tidak boleh
mempermasalahkan pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh negara tempat pelakunya
berada.[5]
D.
KESIMPULAS
Penerapan mengenai yurisdiksi hukum internasional
memberikan jalan keluar dalam suatu negara dalam menyelesaikan
permasalahan internasional, meskipun penerapannya tidak seperti hukum nasional.
Karena seperti yang diketahui bahwa hukum internasional tidak hanya melibatkan
masyarakat nasional melainkan masyarakat internasinal artinya efektifitas tidak
akan sama dengan penerapan hukum nasional.
Dalam kasus “Charlie Hebdo”
melewati perdebatan yang panjang kemudian bisa dirumuskan yakni melewati
prinsip-prinsip yurisdiksi yang ada. Selain hanya penerapan Yurisdiksi negara
tidak dapat dipisahkan dari Azas Kedaulatan Negara (State Souvereignty) yang merupakan
ciri hakiki dari setiap negara. Yurisdiksi Negara merupakan konsekuensi logis
dari adanya azas kedaulatan ataupun hak- hak tertentu yang dapat dimiliki
negara.
DAFTAR
PUSTAKA
BBC INDONESIA, Mengejek
Ala Hebdo,http://.www.bbc.com/
CNN
INDONESIA, sebelumnya tak di sukai,kini
Charlie Hebdo menuai simpati,http://www.cnnindonesia.com/
J.G Starke, Pengantar
Hukum Internasional (edisikesepuluh),Sinar Grafika,Jakarta
Jurnal online Unhas, prinsip-prinsip Hukum
Internasional mengenai yurisdiksi
Medan
Bisnis, Protes Charlie Hebdo, warga
Kristen di Pakistan ikut unjuk rasa, http://www.medanbisnisdaily.com/
[2] Medan Bisnis, Protes Charlie Hebdo, warga Kristen di Pakistan ikut unjuk rasa,
http://www.medanbisnisdaily.com
[3] CNN INDONESIA, sebelumnya tak di sukai,kini Charlie Hebdo menuai simpati,http://www.cnnindonesia.com/
[4] J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional (edisikesepuluh),Sinar Grafika,Jakarta
[5] Jurnal online Unhas, prinsip-prinsip Hukum
Internasional mengenai yurisdiksi
Komentar
Posting Komentar