ARTIKEL SOSIOLOGI
PERAN
PENDIDIKAN DALAM MEMBANGUN PERADABAN ISLAM
OLEH:
NAMA : HENDRIK KIAWAN WIRANTANUS
NIM
: 201410110311302
DOSEN : NU’MAN AUNUH, SH, M.Hum
PRODI : ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH MALANG
TAHUN AJARAN 2014-2015
A.
Keberadaan
Pendidikan Islam
Sejarah keberadaan pendidikan dalam
Islam sangat berkaitan erat dengan perkembangan dan kemunduran peradaban kaum
muslimin, sejarah pendidikan Islam diawali dengan munculnya pendidikan formal
Islam pertama yang kontradiktif yaitu antara madrasah Nizhamiyyah yang
didirikan oleh Wazir Nizhamiyyah pada tahun 1064 M, Madrasah al-Bayhaqiyyah
yang didirikan Abu Hasan Ali al-Baiyhaqi pada tahun 1009 M, madrasah Miyan
Dahiya yang didirikan oleh Abu Ishaq Ibrahm ibn Mahmud di Nishapur dan madrasah
Sa’idiyyah yang didirikan pada masa Sultan Mahmud al-Ghaznawi (998-1030).
Dari beberapa lembaga pendidikan
tersebut memiliki kesamaan tentang kecenderungan materi pengajarannya, yaitu
khusus dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan pada bidang fiqih, tafsir dan hadits
dan bahkan mengharamkan beberapa bidang ilmu diantaranya filsafat dan ilmu
pasti yang sejak awal perkembangan pendidikan ini sudah berada dalam posisi
yang marjinal. Legalisme materi ini disebabkan karena ketinggianya syari’ah dan
ilmu-ilmu agama dibanding ilmu lain, dan adanya sikap keagamaan dan kesalehan
yang memandang ilmu-ilmu agama sebagai jalan tol menuju Tuhan, disamping
penguasaan lembaga pendidikan adalah dari kelompok orang ahli dalam bidang
agama dan hampir semua
madrasah didirikan dengan dana wakaf dari para dermawan dan penguasan politik
pemerintahan yang dalam perkembangannya muncullah paradigma formisme, yaitu
paradikma pendidikan yang membatasi secara tegas antara ilmu agama dan umum.
Munculnya paradigma formisme ini
dalam pendidikan Islam antara lain terdiri dari; orientasi pendidikan pada
akherat dengan menekankan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan, pendekatan
pendidikannya bersifat keagamaan yang normative, doktriner dan absolute,
peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku yang loyal, memiliki sikap
keberpihakan, dan memiliki pengabdian yang tinggi terhadap agama yang
dipelajari.
Hal seperti ini bertentangan dengan konsep Islam,
dimana bahwa Islam tidak membedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum dan
atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan, namun realitas
sejarahnya justru malah memberikan supremasi kepada ilmu-ilmu agama dalam
rangka untuk menuju kepada Tuhan. Kondisi ini pernah terjadi dalam dunia Islam,
yakni dengan memakruhkan dan bahkan mengharamkan mempelajari ilmu-ilmu umum
yang menggunakan penalaran, akibatnya penyelidikan ilmiah yang dilakukan untuk
membuktikan kebenaran ayat-ayat kauniyah harus dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi karena dipandang sebagai ilmu subversive yang dapat menggugat
kemapanan kalam dan fiqh.
Ada beberapa alasan mendasar
mengapa legalisme fiqh ini terjadi dalam lembaga pendidikan Islam, menurut
Azyumardi Azra hal ini dikarenakan; Pertama
Adanya pandangan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan sebagai jalan untuk
menuju Tuhan. Kedua lembaga-lembaga
pendidikan Islam dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu
keagamaan (fuqaha) sehingga kelompok saintis tidak mendapatkan dukungan secara
institusional, dan justru saintis merupakan tantangan bagi fuqaha. Ketiga hampir seluruh lembaga pendidikan
Islam didirikan dan dikembangkan oleh para penyandang dana, dermawan dan
penguasa politik dari kelompok ahli ilmu agama yang termotivasi akan
mendatangkan banyak pahala karena mempelajari ilmu-ilmu agama. Disamping itu adanya
penekanan dari penguasa politik untuk menegakkan ortodoksi Sunni karena alasan
yang murni atau alasan politik yang lain.
Berdasarkan dari fenomena tersebut,
dapat diketahui bahwa kemunduran Islam dalam bidang saintis dan teknologi
disamping dipengaruhi oleh factor dari luar, juga banyak dipengaruhi oleh
factor dari dalam umat Islam itu sendiri, yakni dari para penentu kebijakan
lembaga pendidikan Islam yang sudah melakukan dikotomi terhadap pendidikan
diluar ilmu-ilmu agama.
B.
Perkembangan
Pendidikan Islam
Perjalanan agama Islam yang lahir
di Mekkah dengan pengikut yang tidak lebih dari kalangan keluarganya sendiri
sebagai peletak dasar keimanan dan kemudian hijrah ke Madinah yang kemudian
menjadi berkambang yang akhirnya menaklukkan kota Mekkah kembali, merupakan
perkembangan yang luar biasa. Kemudian pada masa kholifah dimana pengembangan
agama Islam terus meluas dan kekuatannya menyebar jauh di Asia dan Eropa,
kemudian diteruskan pada masa Umaiyah dan Abbasiyah pengembangan perluasan
Islam dan jalur perdagangan terus dilakukan. Dengan penyebaran Islam yang
sangat luas inilah kemudian dibutuhkan perluanya penanaman nilai-nilai ajaran
agama Islam kepada pemeluknya yang sudah semakin meluas.
Dengan perkembangan perdagangan,
maka muncullah kelas menengah yang kemudian tidak hanyak sekedar memenuhi
kebutuhan ekonomi, namun sudah mulai menekuni kegiatan-kegiatan cultural,
pendidikan dan kemasyarakatan. Kesamaan bahasa dan pedoman dasar yakni Al
Qur’an merupakan pengikat berbagai tradisi dari berbagai kelompok etnis. Hal
ini menjadikan status bahasa Arab sebagai bahasa puisi dan prosa yang mampu
mengungkapkan abstraksi-abstraksi filosofis, teologis dan saintifik, untuk
memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Dan pada masa kejayaan Jundi Shapur sebagai
pusat pendidikan tinggi kerajaan Persia pada abad ke-6, kemudian bahasa Arab
dijadikan sebagai landasan untuk perkembangan ilmu pengetahuan,
Pada masa al-Mansur perkembangan
pendidikan Islam mengalami perkembangan yang pesat yakni dengan mendatangkan
ilmuwan dari Yahudi, Kristen, Syria, Zoroaster, Hindu dan Persia di Jundi
Shapur melalui kuttab dan masjid yang dipandu oleh seorang syekh yang dalam
pembelajarannya menggunakan system halaqah.
Pada perkembangannya, pendidikan Islam mengalami
transformasi yang cukup berarti. Selain dilaksanakan di rumah-rumah, pendidikan
Islam juga dilaksanakan di kuttab dan masjid. Kuttab adalah tempat belajar yang
terletak di rumah guru. Kuttab dipandang sebagai lembaga pendidikan dasar
tertua yang pernah ada, dan dalam perkembangannya mengalami perluasan fungsi,
tidak hanya untuk belajar tulis baca, melainkan juga untuk belajar al Qur’an.
Penentuan antara lembaga pendidikan
tinggi dan pendidikan dasar pada awal perkembangan Islam sudah ada
batasan-batasan yang jelas. Pendidikan dasar dari segi kurikulumnya adalah
tentang baca tulis al Qur’an dan diikuti oleh anak-anak dengan bertempat di
kuttab, sedangkan pendidikan tinggi materinya adalah pembahasan mendalam
tentang al Qur’an, pesertanya adalah orang-orang dewasa dan bertempat di
masjid. Kemudian dalam perkembangannya, pembatasan pendidikan ini menurut
Charles Michael Stanton diklasifikasi dari tempat pelaksanaan dan materi (ilmu)
yang dikaji, yakni; pendidikan formal dimulai dari masjid jami’ (selain tempat ibadah juga pusat informasi dan penyambung
hubungan antara pemerintah dan masyarakat), dan masjid non jami’ (pusat halaqah
agama, yang hanya menyampaikan disiplin ilmu hadits, fiqh, tafsir, ushul fiqh,
nahwu, sharaf dan sastra Arab). Berawal dari pengklasifikasian disiplin ilmu
inilah, maka disiplin ilmu yang lain seperti filsafat Yunani, sains dan ilmu
yang berasal dari Timur tidak diajarkan, karena tidak dianggap sebagai ilmu
agama. Masyarakat Islam lebih berkutak-kutik pada perkembangan fiqh saat itu,
yaitu adanya aliran empat madzhab dalam fiqh.
Didirikannya lembaga wakaf pada
masa pemerintahan Nizham al Mulk, merupakan awal dari sebutan lembaga
pendidikan yang berpusat di masjid sebagai masjid-akademic
yang sistemnya berbeda dengan masjid jami’ maupun non jami’. Perbedaannya
terletak pada sistem pendidikannya, yaitu madrasah
akademic (madrasah Nidzhamiyyah) ini merupakan wakaf, mengangkat tenaga
pengajar khusus, staf maupun guru menerima mendapatkan penghasilan,
mahasiswa/santri diasramakan dan mendapat beasiswa, semuanya dari pengelolaan
wakaf yang disediakan oleh khalifah. Sistem inilah yang menjadi landasan dasar
pendidikan formal Islam, yang diterapkan pula di perguruan tinggi Jundi Shapur
di Baghdad. Hanya saja, kurikulum yang diberikan didominasi ilmu-ilmu agama
dengan al-Qur’an sebagai porosnya. Menurut Stanton, ada satu hal yang menjadi
kelebihan dari sistem pendidikan masjid/madrasah-akademik adalah mampu
menciptakan satu atmosfir pendidikan khas yang memadukan kehidupan akademik
dengan kehidupan sosial dari orang/masyarakat yang tinggal di lingkungannya.
Pada perkembangan selanjutnya
setelah masyarakat muslim mulai terbentuk, pendidikan diselenggarakan dalam
bentuk formal, sehingga menjadi salah satu pilar dari peradaban Islam. Dalam
hal ini pendidikan Islam bentuk formal ditandai oleh munculnya madrasah sebagai
lembaga pendidikan dan sekaligus sebagai jalur pendidikan. Di dalam madrasah
berlangsung proses komunikasi pedagogis antara pendidik dan peserta didik, yang
darinya diharapkan mengarah kepada tercapainya tujuan instruksional.
(Haryono:http//www.haryono10182.wordpress.com;25 Oktober 2014)
C.
Konstribusi
Pendidikan Islam dalam membangun Peradaban Islam
Pengaruh Hellenisme secara tidak
langsung memberikan warna dalam perkembangan pendidikan Islam, hal ini ditandai
bahwa ilmuwan muslim sudah tidak lagi membedakan antara pemikiran Aristoteles
dan Plato walaupun mereka berseberangan. Mereka menerima karya-karya filsafat
Yunani sebagai satu kesatuan bahkan diterjemahkan dalam bahasa Arab secara
besar-besaran. Demikian pula umat Islam menerima wordview Neoplatonisme yang menawarkan sebuah teologi teori
kesatuan yang menyatakan bahwa alam adalah satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan, alam dan kehendak Tuhan pasti sejalan, dimana hal ini dapat
dipahami oleh akal manusia dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
Islam pada hakekatnya adalah religion of nature, segala bentuk dikotomi antara agama dan sain
harus dihindari. Alam penuh dengan tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang
menunjukkan kehadiran kesatuan sistem global. Semakin jauh ilmuwan mendalami
sains, dia akan memperoleh wisdomberupa
philosophic perennis yang dalam
filsafat Islam disebut transendence.
Iman tidak bertentangan dengan sains, karena iman adalah rasio dan rasio adalah
alam. Konflik antara iman dan sains sesungguhnya hanya merupakan struggle
antara dua kekuatan yang bertikai yakni kekuatan konservatif yang cenderung
tertutup, memformalkan dan mendogmakan sesuatu dengan kekuatan progresif yang
cenderung bersifat terbuka, mendeformalkan dan mendedogmaan.
Mulai masa Umayyah sampai Abbasiyah
dan puncaknya pada al-Ma’mun hanya sedikit penerjemahan yang dilakukan, namun
dengan berbekal pada metode dialektika, logika dan retorika, dan penyajian
argumen dalam bahasa Arab, maka ilmu pengetahuan mengalami perkembangan, bukan
hanya pada bidang filsafat saja, namun ilmu kedokteran, matematika, sains, dan
sastra, juga ikut mengalami perkembangan, yang tidak lain karena adanya
pengaruh intelektual Hellenisme. Menurut Stanton, aliran yang muncul dalam
Islam seperti jabariyah, qadariah, mu’tazilah adalah murni karena pengaruh
Kristen.
Baru pada Asy’ariah itulah berdasar
pada al-qur’an dan hadits. Lalu muncullah para filosof muslim, mulai al-Kindi
yang membagi dua ilmu pengetahuan menjadi ilmu Tuhan dan ilmu manusia dengan
puncaknya pada filsafat, dilanjutkan oleh al-Farabi, yang lebih mengarah pada
kogika, etika dan metafisika pengaruh dari Aristoteles, kemudian dilanjutkan
oleh Ibnu Sina yang lebih fokus pada bidang kedokteran, yang memandang
penyembuhan manusia tidak hanya dari segi fisik saja melainkan juga penyembuhan
jiwa. Pada masa ini penghargaan terhadap akal sangat tinggi, sehingga
perbincangan mengenai agama mulai melemah. Maka lahirlah al-Ghazali yang
berperan dalam mengakhiri debat antara akal dengan agama melalui konsep
sufismenya, sehingga ia lebih dikenal sebagai seorang teolog daripada seorang
sains. Baru setelah itu Ibnu Rusy yang kemudian menolak al Ghozali yang
meyakini bahwa filsafat adalah cara terbaik untuk menyelesaikan pertentangan
antara agama dengan akal, dimana pada saat itu mendapat perlawanan keras dari
pihak pemerintah, sehingga ia dibuang dan karya-karyanya dibakar. Justru sejak
saat itulah filsafat dan ilmu pengetahuan mendapat apresiasi dan mengalami
perkembangan yang pesat di Eropa.
Dari sinilah, maka kemudian Islam
banyak memberikan konstribusi terhadap ilmu pengetahuan kepada dunia barat,
konstribusi tersebut antara lain sebagai berikut:
1
Sepanjang abad ke 12 dan sebagian abad
13, karya-karya muslim dalam dalam bidang filsafat, sais telah diterjemahkan
kedalam bahasa Latin, khususnya dari Spanyol. Penterjemahan ini telah
memperkaya kurikulum pendidikan dunia barat, khususnya di Northwest Eropa.
2
Muslim telah memberikan sumbangan
eksperiental mengenai metode-metode dan teori-teori sains ke dunia barat.
3
Sistem notasi dan desimal Arab
dikenalkan ke dunia barat.
4
Karya terjemahan dari Ibnu Sina dalam
bidang esehatan dipakai sebagai teks di lembaga-lembaga pendidikan tinggi
sampai pertengahan abad 17.
5
Ilmuwan-ilmuwan muslim dengan
karya-karyanya telah merangsang kebangkitan Eropa dan memperkaya kebudayaan
Romawi kuno.
6
Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
telah didirikan jauh sebelum Eropa bangkit, dalam bentuk madrasah sebagai
pendahulu berdirinya universitas di Eropa.
7
Para ilmuwan muslim berhasil
melestarikan pemikiran dan tradisi ilmiah Romawi-Persia sewaktu Eropa dalam
kegelapan.
8
Sarjana-sarjana Eropa belajar di
berbagai lembaga pendidikan dunia tinggi dunia Islam dan mentransfer ilmu
pengetahuan ke dunia barat.
9
Ilmuwan-ilmuwan muslim telah
menyumbangkan pengetahuan tentang rumah sakit, sanitasi serta makanan ke Eropa.
Kejayaan perkembangan ilmu
pengetahuan Islam ditandai dengan penterjemahan dan penulisan komentar-komentar
dari sejumlah manuskrip oleh para sarjana-sarjana muslim, dengan dimulainya
penentuan kurikulum pada sebuah lembaga pendidikan yang berisi tentang;
nilai-nilai social, kebutuhan dan keinginan peserta didik serta mencari status
dan isi suatu disiplin ilmu pengetahuan. Keunggulan dalam perkembangan ilmu
Islam adalah sudah dilaksanakannya observasi, eksperimen dan analisis terhadap
hasil observasi, diantaranya adalah; Ibnu Jabir Ibn Hayyan ahli ilmu kimia
(721-815), al-Khawarizmi ahli matematika (wafat 863), al-Razi ilmu pengobatan
observasi klinik (865-925), Ibn al-Haytham ahli optik (965-1039), Abu Rayhan
al-Biruni ilmu alam (973-1051), Ibnu Rusyd, al-Khayyam kosmologi Islam; sebuah
pengetahuan alam untuk mendukung konsep penyucian jiwa.
Karakter utama sains semakin
didefinisikan dan diperjelas, untuk mendukung konsep penyucian jiwa. Dalam
kerangka inilah dapat dianalisa bahwa pandangan Islam terhadap sains terikat
oleh dua prinsip, yaitu: kesatuan dan hirarki yang berlandaskan agama.
Kebenaran dan realitas hanya ada pada kehendak Illahi sebagaimana
termanifestasi di alam raya dalam bentuk simbolis saja. Asumsi-asumsi ini
sebagai faktor penyebab utama ilmu pengetahuan Islam mengalami kemandekan, dan
muslim sulit menerima ilmu pengetahuan dan teknologi barat, sehingga
menimbulkan schizophreunia
(mengasingkan diri) di kalangan mahasiswa yang harus mempelajari sains dalam
dua sistem nilai budaya yang berbeda.
Respon intelektual muslim terhadap
perkembangan dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan non keagamaan disalurkan
dalam pendidikan yang bersifat informal, lembaga informal ini menciptakan
situasi yang produktif bagi para ilmuwan untuk memperdalam dan mengembangkan
ilmu pengetahuan non keagamaan yang kemudian diwariskan kepada generasi yang
lebih muda. Dorongan untuk mempelajari ilmu-ilmu non agama ini adalah untuk
mempertajam perangkat intelektual guna mempertahankan keimanan Islam yang baru
dalam menghadapi agama-agama lain disamping itu juga karena adanya dorongan
untuk memperluas kemampuan pengobatan dan pemahaman terhadap benda-benda alam.
Karena adanya penekanan dan
perlakuan yang tidak berimbang antara pendidikan agama dan pendidikan non
agama, maka menjadikan lembaga informal untuk bangkit dan meningkatkan materi
pengkajian dan tempat pelaksanaannya, baik di rumah pribadi, rumah bangsawan,
maupun rumah penguasa, sehingga perkembangan ilmu sains lebih mendapat respon
melalui pendidikan informal. Sebagai contoh, al-Kindi mendirikan sekolah
informal (berawal dari halaqah)
berbahasa Arab, yang mengajarkan filsafat, yang kemudian dikembangkan oleh
al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Lalu al-Khawarizm membuat laboratorium
perbintangan, maraknya koleksi perpustakaan baik pribadi maupun di perguruan
tinggi (masa al-Makmun) di Baith al-Hikmah, penerjemahan dan pencetakan manuscript ilmu pengetahuan baik sains
maupun agama, dijadikannya rumah sakit dan klinik sebagai pusat kajian ilmu,
menjadikan perkembangan ilmu pengetahuan umum/sains justru yang menyebarluaskan
adalah dari pendidikan informal. Sementara kurikulum pendidikan formal terbatas
pada ilmu agama, fiqh dan madzhab, hal inilah yang menurut Stanton sebagai awal
kemunduran umat Islam yang mengakibatkan terjadinya transmisi pendidikan tinggi
ke Eropa. Sebenarnya intelektualisme Islam pada waktu suda sangat tinggi namun
etos keilmuan itu justru diwariskan ke peradaban Barat.
Berawal dari respon inilah (lingkaran studi)
kemudian mendapat pengakuan dari masyarakat yang akhirnya menjadikanya sebagai
pendidikan formal dengan penambahan materi kajian. Dalam perkembangannya
muncullah pengklasifikasian antara pendidikan informal dengan pendidikan formal
dengan segala permasalahannya.(Muhammad Fathurrohman:http//www.muhfathurrohman.wordpress.com;27
Oktober 2014)
D.
Substansi
Peradaban Islam
Menurut Ibn Khaldun diantara tanda
wujudnya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia,
geometri, aritmetik, astronomi, optic, kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya
suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu
pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun
adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa
adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau
suatu harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika komunitas itu
membesar maka akan lahir komunitasbesar. Komunitas itu biasanya muncul di
perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk
masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang daripadanya timbul
suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya lahirlah suatu Negara. Kota Madinah,
kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Cairo dan lain-lain adalah
sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan
Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu komunitas bagi Ibn Khaldun di
antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan/arsitektur),
kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik,
sastra dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat
komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan
kreativitas masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas
atau kepercayaan. Para sarjana Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat
bahwa agama adalah asas peradaban, menolak agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb
menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Meskipun dalam paradaban
Islam struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun
prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanent.
Prinsip-prinsip itu adalah ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan supremasi kemanusiaan di
atas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai
kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap
keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di Bumi berdasarkan
petunjuk dan perintahNya (syariat).
Syeikh Muhammad Abduh juga
menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban.
Bangsa-bangsa purbakala seperti Yunani, Mesir, dan India, membangun peradaban
mereka dari sebuah agama, keyakinan atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga
mengakui bahwa kekuatan spiritual (batiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan
seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah (outward
manifestation) yang kemudian disebut sebagai peradaban itu.
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas
peradaban, dan jika agama serta kepercayaan itu membentuk cara pandang
seseorang terhadap sesuatu yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tindakan
nyatanya atau manifestasi lahiriyahnya, maka sejalan dengan teori modern bahwa
pandangan hidup (worldview) merupakan
asas bagi setiap peradaban dunia. Para pengkaji peradaban, filsafat, sains dan
agama kini telah banyak yang menggunakan worldview
sebagai matrik atau framework. Ninian
Smart menggunakannya untuk mengkaji agama, S.M. Naquib al-Attas, al-Mawdudi,
Sayyid Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan konsep dalam Islam,
Alparslan Acikgence untuk mengkaji sains, Atif Zayn, memakainya untuk
perbandingan ideologi, Thomas F Wall untuk kajian filsafat, Thomas S Kuhn
dengan konsep paradigmanya sejatinya sama dengan menggunakan worldview sebagi kajian sains.
Meski mereka berbeda pendapat
tentang makna worldview, mereka pada
umumnya mengaitkan worldview dengan
peradaban atau seluruh aktivitas ilmiyah, sosial dan keagamaan seseorang.
Ninian Smart, pakar kajian perbandingan agama, memberi makna worldview sebagai “kepercayaan, perasaan
dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi
keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.” Penekanannya pada fungsi worldview sebagai motor perubahan sosial
dan moral. Secara filosofis Thomas F Wall, memaknai worldviewsebagai “sistem kepercayaan asas yang integral tentang
hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi”. Dalam kaitannya
dengan aktivitas ilmiyah Alparslan Acikgence memaknai worldviewsebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk
aktivitas-aktivitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya
dapat dilacak pada pandangan hidupnya, artinya aktivitas manusia dapat
direduksi kedalam pandangan hidup itu. Sebab, paradigma mengandung konsep
nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, yang merupakan worldviewdan frameworkkonseptual yang diperlukan untuk kajian sains.Singkatnya, worldview berkaitan erat secara
konseptual dengan segala aktivitas manusia secara sosial, intelektual dan
religius. Dan yang terpenting adalah bahwa worldcview
sebagai sistem kepercayaan, pemikiran, tata pikir, dan tata nilai memiliki
kekuatan untuk merobah. Maka dari itu, aktivitas manusia dari yang
sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya yang kemudian menjadi peradaban
bersumber dari worldview.
Jika makna worldview adalah konsep nilai, motor bagi perubahan sosial, asas bagi
pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah, maka Islam mengandung
kesemuanya itu. Islam bahkan memiliki pandangan terhadap realitas fisik dan non
fisik secara integral. Ayat-ayat al-Qur’an jelas-jelas memproyeksikan pandangan
Islam tentang alam semesta dan kehidupan yang disebut pandangan hidup atau
pandangan alam Islam (worldview,al-tahawwur
al-Islami,al-mabda al-Islami) itu. Bukan hanya itu, konsep-konsep tersebut
diberi medium pelaksanaannya yang berupa institusi yang disebut dien,yang di dalamnya terkandung konsep
peradaban (Tamaddun).
Oleh sebab itu dalam Islam worldview memiliki istilahnya sendiri.
Bagi al-Mawdudi worldview Islam
adalah Islami Nazariyat (Islamic Vision) yang berarti “pandangan
hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan yang berimplikasi pada keseluruhan
kegiatan kehidupan manusia di dunia secara menyeluruh”. Menurut Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-tahawwur al-Islami, yang berarti
“akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap
Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujuddan apa-apa yang terdapat dibalik itu.” Worldview dalam istilah Shaykh Atif al-Zayn adalah al-Mabda’ al-Islami yang lebih cenderung
merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ia mengartikan mabda’sebagai aqidah fikriyyahyaitu kepercayaan yang berdasarkan pada akal. Sebab
baginya iman didahului dengan akal. Namun Shaykh Atif juga menggunakan
kata-kata mabda untuk ideologi
non-Muslim. Ini berarti bahwa tidak selamanya berarti aqidah fikriyyah.S.M.Naquib al-Attas mengartikan worldviewIslam sebagai pandangan Islam
tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang
menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud
yang total, maka worldview Islam
berarti pandangan Islam tentang wujud.
Jadi sebagaimana peradaban lainnya,
substansi peradaban Islam adalah pokok-pokok ajaran Islam yang tidak terbatas
pada sistem kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai, tapi merupakan
super-sistem yang meliputi keseluruhan pandangan tentang wujud, terutamanya
pandangan tentang Tuhan. Oleh sebab itu teologi dalam Islam merupakan fondasi
bagi tata pikir, tata nilai dan seluruh kegiatan kehidupan Muslim. Itulah
pandangan hidup Islam. Jika pandangan hidup itu berakumulasi dalam tata pikiran
seseorang, ia akan memancar dalam keseluruhan kegiatan kehidupannya dan akan
menghasilkan etos kerja dan termanifestasikan dalam bentuk karya nyata. Dan
jika ia memancar dari pikiran masyarakat atau bangsa maka ia akan menghasilkan
falsafah hidup bangsa dan sistem kehidupan bangsa tersebut. Jadi substansi
peradaban Islam adalah pandangan hidup Islam. Namun elemen pandangan hidup yang
terpenting adalah pemikiran dan kepercayaan.
Menurut Ibn Khaldun, wujud suatu
peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu 1)
kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi 2)
kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer dan 3)
kesanggupan berjuang untuk hidup. Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas
suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu
telah mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan
manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan
wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu
meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja
tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang
tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya
pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu
pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup. Untuk menjelaskan bagaimana
pemikiran dalam peradaban Islam merupakan faktor terpenting bagi tumbuh
berkembangnya peradaban Islam, kita rujuk tradisi intelektual Islam.
Tradisi intelektual dalam Islam
dimulai dari pemahaman (tafaqquh)
terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, secara
berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah. Kesemuanya
itu menandai lahirnya pandangan alam Islam. Di dalam al-Qur’an ini terkandung
konsep-konsep yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para
sahabat, tabiin, tabi’ tabiin dan
para ulama yang datang kemudian. Konsep ‘ilm
yang dalam al-Qur’an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para
ulama sehingga memiliki berbagai definisi. Cikal bakal konsep Ilmu pengetahuan
dalam Islam adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan kedalam
berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang
kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks
wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual.
Tradisi intelektual dalam Islam
juga memiliki medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut
al-Suffah dan komunitas
intelektualnya disebut Ashab al-Suffah.
Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadith-hadith
Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Meski materinya masih
sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang
betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan
materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat
kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Ashab al-Suffah adalah gambaran terbaik
institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak
awal tradisi intelektual dalam Islam.
Perlu dicatat bahwa kegiatan keilmuan tersebut di
atas, secara epistemologis wujud karena adanya pandangan alam (worldview), yaitu pandangan alam yang
memiliki konsep-konsep yang canggih yang menjadi asas epistemologi untuk
aktivitas keilmuan tersebut. Dengan adanya konsep yang canggih para ilmuwan
anggota masyarakat yang terlibat akhirnya dapat mengembangkan istilah-istilah
teknis dan bahasa khusus untuk itu. Bahkan konsep tersebut berkembang menjadi
struktur konsep keilmuan atau scientific
conceptual scheme. Dari konsep ‘Ilm
ini pula kemudian lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti Ilmu Fiqih,
Tafsir, Hadith, Falak, Hisab, Mawarits, Kalam, tasawwuf dan sebagainya.
Kemajuan tradisi intelektual dan
ilmu pengetahuan dalam Islam dirasakan oleh masyarakat Eropa pada zaman Bani
Umayyah di Andalus Spanyol. Pada masa peradaban agung di Andalus, siapapun di
Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di
waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum
terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana
ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol
mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam
pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi
Amerika saat ini, dimana beberapa universtias penting berada.
Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah,
misalnya Muslim telah banyak mentransmisikan pemikiran Yunani. Karya Aristotle,
dan juga tiga buku terakhir Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan
Neo-Platonis, karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan
lain-lain sudah berada di tangan Muslim untuk proses asimilasi. Puncak kegiatan
transmisi terjadi pada era kekhalifahan Abbasiyyah. Menurut Demitri Gutas proses
transmisi (penterjemahan) di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial,politik
dan intelektual. Ini berarti bahwa seluruh komponen masyarakat dari elit
penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga
dampaknya secara kultural sangat besar.
Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya
Yunani tersebut. Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi
dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Jadi proses asimilasi terjadi
ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya ummat Islam mengadapsi pemikiran
Yunani ketika peradaban Islam telah mencapai kematangannya dengan pandangan
hidupnya yang kuat. Di situ sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi
sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam.Produk dari proses ini
adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran Yunani dan bahkan
boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani, misalnya konsep jawhar para mutakallimun
dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak benar, kesimpulan Alfred Gullimaune
yang menyatakan bahwa framework,
ruang lingkup dan materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidang-bidang
dimana Filsafat Yunani mendominasi sistem ummat Islam. Sejatinya pemikiran
Yunani tidak dominan, sebab jika demikian maka Muslim tidak mampu melakukan
proses transmisi. Oleh karena itu Muslim lebih berani memodifikasi pemikiran
Yunani ketimbang masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan. Muslim bahkan mampu
mengharmonisasikan dengan Islam sehingga akal dan wahyu dapat berjalan seiring
sejalan dan pemikiran Yunani tidak lagi menampakkan wajah aslinya. Berbeda dari
Muslim, masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan yang mengaku mengetahui
karya-karya Yunani, ternyata tidak mampu mengharmoniskan filsafat, sains dengan
agama. Kondisi ini kelihatannya yang mendorong para teolog Kristen menggunakan
tangan pemikir Muslim untuk memahami khazanah pemikiran Yunani. Terpecahnya
kalangan teologi Kristen kedalam aliran Averoesm dan Avicennian merupakan bukti
bahwa Kristen memahami Yunani melalui pandangan hidup Muslim.
Jika benar asumsi orientalis selama ini bahwa
pemikiran Muslim didominasi pemikiran Yunani, maka wajah peradaban Islam di
Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol adalah
satu-satunya lingkungan kultural Muslim yang dominan, padahal kawasan itu
merupakan tempat pertemuan kebudayaan Kristen, Islam dan Yahudi. Yang pasti
karakteristik penting peradaban Islam baik ketika di Andalusia maupun di
Baghdad adalah semaraknya kegiatan keilmuan. Oleh karena itu dalam
menggambarkan peradaban Islam Ibn Khaldun membahas secara panjang lebar
ilmu-ilmu yang berkembang dan dikembangkan di kedua pusat kebudayaan Islam itu,
seperti misalnya ilmu bahasa dan agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang
(bussiness arithmetic), ilmu hukum
waris (faraid), geometri, mekanik,
penelitian, optik, astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu fisika,
kedokteran, pertanian, metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.
Namun, seperti yang diteorikan oleh
Ibn Khaldun di atas, pemikiran yang berkembangan menjadi tradisi intelektual
bukanlah satu-satunya faktor tumbuh berkembangnya suatu peradaban. Kemampuan
berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer serta kesanggupan
berjuang untuk meningkatkan kehidupan merupakan faktor lain yang mendukung
tumbuhnya pemikiran dan peradaban. Selain itu Ibn Khaldun juga mensinyalir
adanya hubungan kausalitas antara peradaban dan sains. Artinya semakin besar
volume urbanisasi, semakin tumbuh pula peradaban dan sains. Ilmu akan
berkembang hanya dalam peradaban yang penduduk perkotaannya meningkat.
E.
Membangun
Peradaban melalui Pendidikan
Proyek membangun kembali peradaban
Islam tidak dapat dilakukan hanya dengan melalui satu dua bidang kehidupan. Ia
merupakan proses bersinergi, simultan dan konsisten. Untuk itu maka program ini
perlu disadari bersama sebagai sesuatu yang wajib (fardhu ‘ayn) dan merupakan tanggung jawab yang perlu dibebankan
kepada seluruh anggota masyarakat Muslim. Sabda Nabi jelas “Barangsiapa tidak
perduli dengan urusan (masalah) ummat Islam maka ia bukan bagian daripada
mereka” (al-Hadish).
Jika menengok sejarah kejayaan
Islam di Baghdad maka kita akan temui gerakan pengembangan ilmu pengetahuan
yang bersinergi. Gerakan yang dimulai dengan penterjemahan karya-karya asing,
khususnya Yunani itu bukan gerakan seporadis atau gerakan pinggiran. Gerakan
itu didukung oleh elit masyarakat Baghdad: seperti khalifah dan putera
mahkotanya, pegawai negara dan pimpinan militer, pengusaha dan bankers, dan sudah tentu ulama dan
saintis. Ia bukan proyek kelompok tertentu. Selain itu, gerakan disubsidi oleh
dana yang tak terbatas dari perusahaan negara maupun swasta. Dan yang
terpenting, ia dilakukan dengan menggunakan metodologi ilmiyah yang akurat
dengan alat filologi yang eksak, sehingga terma-terma asing dapat diterjemahkan
dengan tepat.
Hal ini menunjukkan bahwa
pengembangan ilmu pengetahuan adalah sentral sifatnya. Dari perkembangan ilmu
inilah kemudian dikembangkan bidang-bidang lain baik secara simultan ataupun
secara gradual. Ilmu, sudah barang tentu, diperlukan oleh semua kelompok apapun
orientasi dan strategi perjuangannya. Pembangunan politik, ekonomi, pendidikan,
perbankan Islam dan lain sebagainya tidak bisa tidak harus dimulai dari ilmu.
Mungkin diagram dibawah ini dapat menggambarkan konsep tersebut.
Untuk memperbaiki keadaan ini, maka
umat Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang
memahami tentang kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di
dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain pembangunan masyarakat harus
dilandaskan pada konsep pengembangan individu yang beradab. Menurut al-Attas
pembentukan individu yang beradab tersebut, secara strategis, dapat dimulai
dari pendidikan universitas. Namun pendidikan universitas tersebut harus
terlebih dahulu diletakkan dan berlandaskan pada interpretasi yang
benarsehingga dapat melahirkan sarjana, ulama dan pemimpin Muslim yang
mempunyai pandangan hidup Islam.
Perlu dicatat bahwa penekanan pada
pendidikan tinggi merupakan salah satu tradisi dalam Islam dan menjadi
perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu. Bahkan, target utama dan misi
Nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa dan bertanggung jawab.
Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah sering dikaitkan dengan adanya
pengaruh Westernisasi dan modernitas. Selain itu universitas juga merupakan
tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin masyarakat. Di semua negara
universitas adalah tempat dimana individu-individu yang menonjol menjalani
pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan sumber daya alam dan manusia.
Sebenarnya, pendidikan tingkat dasar dan menengah hanyalah persiapan menuju
universitas. Betapapun baiknya reformasi pendidikan dasar dan menengah
lanjutan, jika sistem pendidikan tinggi, terutamanya universitas, tidak
direformasi sesuai dengan kerangka epistimologi dan pandangan hidup Islam, ia
akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan pendidikan tinggi maka
kekurangan-kekurangan yang ada di pendidikan tingkat rendah dapat diperbaiki.
Agar universitas benar-benar Islami dan merupakan
medium pengembangan individu, maka sebuah universitas harus merupakan refleksi
dari insan kamil ataupun universal dan mengarah kepada pembentukan insan kamil.
Contoh insan kamil dan universal itu
yang sangat riel adalah figur Nabi Muhammad saw sendiri. Universitas dalam
Islam harus merefleksikan figur Nabi Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan
amal sholeh, dan fungsinya adalah untuk membentuk laki-laki dan wanita yang
beradab dengan menirunya semirip mungkin dalam hal kualitas sesuai dengan
kemampuan dan potensi masing-masing”. Berbeda dari Islam, universitas di Barat
mencerminkan keangkuhan manusia. Meskipun mereka juga mempunyai konsep
universal, namun karena pengaruh paham humanisme sofistik yang kuat maka
manusia diletakkan di atas segala-galanya. Ungkapan Protagoras yang sering
mereka kutip adalah bahwa: “manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, segala
sesuatu yang ada adalah ada, dan segala sesuatu yang tidak ada adalah tidak
ada”.
Pengertian ini juga terjadi di
dunia akademis di mana seorang ilmuwan yang lebih muda mengikuti atau memakai
pendapat atau teori ilmuwan senior yang lebih pakar. Oleh sebab itu ijtihadbukanlah berpendapat dengan
sesuka hati atau dengan sebatas pengetahuan pribadi, tapi berpendapat
berdasarkan pada pengetahuan ulama terdahulu yang memiliki otoritas dalam
bidang masing-masing. Selain itu kurikulum di Universitas Islam perlu
direkonstruksi agar dapat lebih mengarah kepada penanaman ilmu pengetahuan
Islam yang berstruktur dan konseptual. Materi Aqidahpada jenjang pendidikan rendah dan menengah mestinya
dikembangkan menjadi materi wajib pada jenjang pendidikan tinggi. Di perguruan
tinggi ilmu tersebutdapat dikembangkan menjadi Ilmu Tafsir, ilmu Hadith, ilmu
Fiqih, ilmu Kalamatau filsafat dan lain sebagainya.
Disini konsep-konsep tentang Tuhan,
manusia, alam, akhlaq dan tentang agama dikaji secara mendalam.Itu semua hendaknya diajarkan sehingga
dapat menjadi fondasi bagi pengkajian disiplin ilmu lain. Disini sumber
pengetahuan inderawi, aqli dan
intuisi disatukan dalam suatu cara berfikir yang integral dan tidak secara
dualistis: obyektif dan subyektif, idealistis dan realistis. Dengan cara itu
dikotomi ilmu pengetahuan, agama dan umum, yang telah begitu merasuk ke dalam
kurikulum pendidikan Islam akibat dari sekularisasi pemikiran dapat secara
perlahan-lahan dihilangkan.
F.
Penutup
Peradaban Islam adalah peradaban
yang dibangun oleh pendidikan melalui pengkajian dalam ilmu pengetahuan Islam
yang dihasilkan oleh pandangan hidup Islam. Oleh karena itu, pembangunan
kembali peradaban Islam harus dimulai dari pembangunan pendidikan dan ilmu
pengetahuan Islam. Orang mungkin memprioritaskan pembangunan ekonomi dari pada
ilmu, dan hal itu tidak sepenuhnya salah, sebab ekonomi akan berperan meningkatkan
taraf kehidupan. Namun, sejatinya faktor materi dan ekonomi menentukan settingkehidupan manusia, sedangkan yang
mengarahkan seseorang untuk memberi respon seseorang terhadap situasi yang
sedang dihadapinya adalah faktor pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Intelektual adalah hal yang lebih
penting dari ilmu dan pemikiran yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat.
Intelektual berfungsi sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap ide dan
pemikiran tersebut. Bahkan perubahan di masyarakat ditentukan oleh ide dan
pemikiran para intelektual. Ini bukan sekedar teori tapi telah merupakan fakta
yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam. Di Barat ide-ide para
pemikir, seperti Descartes, Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel, John Dewey, Adam
Smith dan sebagainya adalah pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dan merubah
pemikiran masyarakat. Demikian pula dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran
para ulama seperti Imam Syafi’i, Hambali, Imam al-Ghazzali, Ibn Khaldun, dan
lain sebagainya mempengaruhi cara berfikir masyarakat dan bahkan kehidupan
mereka. Jadi membangun peradaban Islam harus dimulai dengan membangun pemikiran
umat Islam yang diselenggarakan melalui pendidikan, meskipun tidak berarti kita
berhenti membangun bidang-bidang lain. Artinya, pembangunan ilmu pengetahuan
Islam hendaknya dijadikan prioritas bagi seluruh gerakan Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Latif Tibawi, Arabic and Islamic Themes: Historical, Educational and Literary Studies
(London: Luzac & Co., 1974).
Abdullah Idi & Toto Suharto,
Revitalisasi Pendidikan Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006.
Abdurrohman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik
(Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), Gama Media,
Yogyakarta, 2002.
Abu Nu’aym, Ahmad ibn ‘Abd Allah
al-Asbahani (d.430 A.H.) Hilyat
al-Auliya’, 10 jilid, Mesir: al-Sa’adah Press, 1357, 1/339.
Alfred Gullimaune, “Philosophy and
Theology” dalam The Legacy of Islam,Oxford
University Press, 1948.
Al-Mawdudi,
The Process of Islamic Revolution,
(Lahore, 1967) hal. 14, 41.
Alparslan Acikgence, Scientific Thought And Its Burdens, An Essay
in the History and Philosophy of Science, Fatih University Publications,
2000.
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
alih bahasa Ibrahim Husein, Jakarta, Bulan Bintang, 1979.
Azyumardi Azra, Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Moderniasasi
menuju Millenium Baru, Jakarta, Logos, 1999.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, Cet. IV, Bandung, Mizan, 1988
Charles Michael Stanton: Pendidikan Tinggi dalam Islam Sejarah dan
Peranannya dalam kemajuan ilmu pengatahuan, Logos Publising House, Jakarta,
1994.
Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives(Belmont,
California, Wardsworth, 1997)
Ibn Khaldun, ‘Abd al-Rahman Ibn
MuÍammad, The Muqaddimah: an Introduction
to history, Penerjemah Franz Rosenthal, 3 jilid, editor N.J. Dawood.
(London, Routledge & Kegan Paul, 1978).
M.
Athiyah Al Abrosyi, Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam, alih bahasa Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry, Jakarta,
Bulan Bintang, 1993.
M.Sayyid
Qutb, Muqawwamat al-Tasawwur al-Islami,
Dar al-Shurq, tt
Mehdi
Nakosteen, History of Islamic Origins of
Westem Education,Colorado, 1964.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam
di Sekolah, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2008.
Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief,(New York:
Charles Sribner’s sons, n.d).
Nurcholis
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam,
Jakarta, Paramadina, 1997.
Oliver Leaman, “Scientif and
Philosophical Enquiry: Achievement and Reaction in Muslim History”, dalam
Farhad Daftary (ed), Intellectual
Traditions in Islam, I.B Tauris, London-New York in association with The
Institute of Ismaili Studies, 2000.
S.M.N, al-Attas dalam Prolegomena to The Metaphysics of Islam An
Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala
Lumpur, ISTAC, 1995.
Sharif,
M.M., A History of Muslim Philosophy,
jilid. II, Low Price Publication, Delhi, 1995.
Shaykh Ohif al-Zayn, al-Islam wa Idulujiyyat al-Insan,Beirut,
aÉr al- Kitab al-Lubnanu, 1989.
Thomas F Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem, A Modern
Introduction, Wadsworth, Thomson Learning, Australia, 2001.

Komentar
Posting Komentar