Karya Tulis Analisis tentang Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi



KARYA ILMIAH PENGANTAR ANTROPOLOGI
UNDANG – UNDANG NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI
OLEH:
NAMA  : HENDRIK KIAWAN WIRANTANUS
NIM      : 201410110311302
DOSEN : Dr. AGUS SUDARYANTO, SH,MH
PRODI  : ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH MALANG
TAHUN AJARAN 2014-2015



  1. LATAR BELAKANG
Undang – undang pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan undang – undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang – undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang – undang yang mengatur mengenai ponografi dan pornoaksi pada awalnya. (Asep Saepudin:http//www.barhoya.blogspot.com;27 Oktober 2014)
Sesuai dengan ketentuan umum dalam kitab undang – undang tentang pornografi yang dimaksud dengan,
  • Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto dan lain sebagainya atau bahkan berbentuk pesan melalui berbagai bentuk media komunikasi/pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
  • Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi malalui pertunjukan langsung atau media masa lainnya.
  • Setiap orang adalah perseorangan atau korporasi baik yang berbadan hukum maupun yang tidak.
  • Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
  • Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam UUD 1945.
  • Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah. (Bukukita:http//www.distributorkita.com; 27 Oktober 2014)


  1. RUMUSAN MASALAH
Maka dilihat dari Latar Belakang maka penulis dapat mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Apa definisi dari pornografi dan bagaimana rancangan undang – undangnya?
  2. Kapan disahkannya UU Pornografi?
  3. Adakah Kontroversi tentang undang – undang Pornografi?
  4. Apa aturan tindak pidana tentang undang – undang Pornografi tersebut?
  1. PEMBAHASAN
1.      DEFINISI DAN RANCANGAN
Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR. Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal.
Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai “substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan – gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan erotika” sedangkan pornoaksi adalah “perbuatan mengekspoitasi seksual, kecabulan, dan dan erotika di muka umum.

Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus dalam rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi, karena definisi ini dipermasalahkan. Maka, disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar/tulisan) yang secara harfiah berarti “gambar/tulisan tentang pelacur”. Definisi pornoaksi dalam draf ini adalah “upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi”.
Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum, dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.
Pada RUU Pornografi, definisi pornografi disebutkan dalam pasal 1: “pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, dan lain sebagainya atau segala sesuatu yang membangkitkan hasrat seksual dan melanggar nilai – nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan “gerak tubuh” kedalam definisi pornografi.
Rancangan terkhir RUU ini msih menimbulkan kotroversi, banyak elemen masyrakat dari berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, dan Papus), LSM perempuan yang masih menolak RUU ini.
Definisi pornografi menutut kamus besar Indonesia adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi, bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata – mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks. (Asep Saepudin:http//www.barhoya.blogspot.com;27 Oktober 2014)
2.      DISAHKAN MENJADI UNDANG – UNDANG
Pada 28 Oktober 2008 RUU Pornografi disepakati 8 fraksi di DPR. Mereka menandatangani naskah draf yang tinggal menunggu pengesahannya di rapat paripurna. Sehingga mayoritas menyampaikan kesepakat akhir yaitu “Kami dari pemerintah mewakili Presiden menyambut baik diselesaikannya pembahasan RUU Ponografi”. Setelah melewati proses sidang yang panjang dan beberapakali penundaan, pada 30 oktober 2008 siang dalam Rapat Paripurna DPR, akhirnya RUU Pornografi disahkan. (dr. Widodo Judarwanto:http//www.demokrasiindonesia.com;27 Oktober 2014)
3.      KONTROVERSI
Isi pasal RUU APP ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. MUI menyatkan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan dimuseum, sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniiman, artis, budayawan, dan akademis.
            Dari sisi substansi , RUU ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain RUU ini mengandung atau memuat kata – kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, skploitasi seksual, erotis, keabulan, kerelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai mastrubasi, dan lain – lain.
            Pihak yang menolak mengatakan pornigrafi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan ata seksualitas, melalui majalah, buku, film, dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tetapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang – undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Pornografi ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang – barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.
            Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan, Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto dan lain sebagainya atau segala sesuatu yang membangkitkan hasrat seksual dan melanggar kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan “materi seksualitas” dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi tapi masih bersifat relatif, berbeda.
            DARI SEGI KEBUDAYAAN -  RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis, dan agama.  RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indpnesia lewat pengaturan cara berpakaian dan tingkah laku berdasarkan paham satu kelompok saja. Padahal Negara Indonesia berdiri atas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu memounyai norma – norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan tata susila.  Padahai resepsi dari RUU ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah tatanan budaya Indonesia, tetapi untuk membentegi efek negatif pergeseran nilai norma yang akhir ini semakin terlihat.
            DARI SEGI MENYUDUTKAN PEREMPUAN -  RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat – rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki – laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah, perempuan juga dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan seksual. Menurut agamis di dalam RUU ini, seksualitas dan tubuh penyebab pornografi dan pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan. Bahwa dengan membatasi seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia, keperibadian luhur, kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam. Seksualitas dan tubuh perempuan dianggap kotor dan merusak moral
            DARI SEGI SEBAGAI BENTUK TOTALITARIANISME NEGARA – RUU Pornografi dianggap sebagai bentuk intervensi negara dalam mengontrol persoalan moralitas kehidupan personal warga negara, seinggap dapat menjebak negara untuk mempraktikkan politik tatalitarianisme. RUU Pornografi melihat perempuan dan anak – anak sebagai pelaku tindakan pornografi yang dapet terkena jeratan hukum, dan menghilangkan konteks persoalan yang sebenarnya menempatkan perempuan dan anak – anak sebagai korban dari obyek eksploitas. RUU Pornografi akan menempatkan perempuan dan anak – anak sebagai korban kedua kalinya. Mereka menjadi korban dari praktik pemerasan sistem kapitalisme sekaligus korban tindakan represi negara. Selain itu juga RUU Pornografi juga secara sistematik bertentangan dengan landasan kebhinekaan karena mendiskriminasikan pertunjukan dan seni budaya tertentu dalam kategori seksualitas dan pornigrafi. Dari sudut pandang hukum, RUU Pornografi dinilai telah menabrak batas antara ruang hukum publik dan ruang hukum privat, hal ini tercermin dari penggebirian hak – hak individu warga yang seharusnya dilindungi oleh negara sendiri, seharusnya yang diatur dalam RUU ini adalah masalah yang benar – benar mengancam kepentingan publik, seperti komersialisai dan ekspoitasi seks pada perempan dan anak, dll. Selain itu juga RUU Pornografi proses penyusunan RUU Pornografi mengabaikan unsur – unsur sosiologis, hal ini terlihat dari banyaknya pertentangan dan argumen yang muncul dari berbagai kelompok masyrakat. (Asep Saepudin:http//www.barhoya.blogspot.com;27 Oktober 2014)


4.      ATURAN TINDAK PIDANA DALAM UU PORNOGRAFI
Sudah banyak peratutan undang – undang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang – Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang – Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan perundang – undangan tersebut dianggap kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena itu sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan RUU APP di DPR RI. Dalam perjalanannya, RUU APP, RUU APP bernganti menjadi RUU Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU Pornografi melalui sidang paripurna.
Pro dan kontra mewarnai sebelum dan sedudah lahirnya UU Pornografi terhadap beberapahal seperti, batarasan pornografi, sanksi pidana, dan peran serta masyarakat. Meskipun demikian, Pemerintah dan DPR RI menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia perlu segera memiliki UU Pornografi dengan pertimbangan bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dipandang sudah semakin luas dan dapat mengancam kehidupan sosial masyarakat. Kita masih ingat berbagai tindak kriminal terjadi ditengah masyrakat seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual di mana si pelaku terdorong untuk melakukan setelah menonton film porno,  maraknya penyebaran foto bugil, kasus jual kaset VCD Porno yang melibatkan orang dewasa atau anak – anak, dan masih banyak kasus yang lainnya. Dengan lahirnya UU Pornografi dimaksudkan untuk segera mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat, dan memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi terutama bagi anak – anak dan perempuan.
MEMPRODUKSI, MEMBUAT DAN MENYEBARLUASKAN PORNOGRAFI – Bagi orang yang memiliki website yang menyajikan cerita porni, foto bugil, film porno, dan berbagai macam informasi bermuatan pornografi akan dijerat dengan pasal 4 ayat 1 UU Pornografi dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,00. Bandingkan dengan sanksi pidana dalam UU ITE, terhadap setiap orang yang menyebarkan informasi pornografi  (pasal 27 ayat 1) dikenai pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00. Tampaknya sanksi pidana dalam UU Pornografi lebih berat. Bahkan, pasal 27 ayat UU ITE menggunakan “dapat diaksesnya”, yang berarti setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak membuat dapat diaksesnya informasi elektronik bermuatan pornografi atau pelanggaran kesusilaan akan terkena sanksi pidana.
Dalam UU ITE, diatur pula larangan mengubah atau memanipulasi informasi elektronik sehingga seolah – olah tampak asli. Kita sering mendengar dan melihat berita tentang tindak kriminal dari prilaku rekayasa foto, seperti foto artis, pejabat, atau oang lain yang diubah dari tidak bugil menjadi bugil (seolah – olah foto asli). Perbuatan merekayasa foto tersebut termasuk perbuatan yang dilarang dalam UU ITE terkait dengan pasal 35 yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi informasi elektronik sehingga dianggap seolah – olah data yang otentik. Bagi pelaku dikenai sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan atau denda paling banyak Rp. 12.000.000.000,00.
MENGUNDUH, MEMPERBANYAK, MENGGANDAKAN, MEMPERJUALBELIKAN, MENYEWAKAN PORNOGRAFI – Kegiatan seperti mengcopy fil pornografi ke CD atau media penyimpanan yang lain, lalu menyewakan atau menjualnya merupakan perbutan melanggar pasal 4 ayat 1 UU Pornografi, bagi setiap pelaku dikenakan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,00.
Kegitan seseorang untuk memfasilitasi pembutan, penggadaan, penyebarluasan, penjualan, penyewaan, penggunaan produk pornigrafi merupakan kegitan yang dilarang dalam pasal 7 UU Pornografi. Bagi setiap pelaku yang melanggar pasal 7 dikenai pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 15 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 dan paling banyak Rp. 7.500.000.000,00. Bandingkan dengan UU ITE, setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak atau melawan hukum mengadakan atau menyediakan perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang digunaka untuk memfasilitasi perbuatan penybarluasan pornografi merupakan perbuatan yang dilarang pasal 34 ayat 1 UU ITE. Bagi setiap pelaku akan dikenai pidana penjara 10 tahun dan atau denda paling Rp. 10.000.000.000,00.
Kemudian mengunduh pornografi merupakan perbuatan yang dilarang pasal 5 UU Pornografi. Setiap orang yang mengunduh pornigrafi dikenai pidana penjara paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00. Pemerintah telah berupaya untuk melakukan pemblokiran terhadap akses situs porno agar tidak dapat diunduh denga menyediakn software antipornografi. Meskipun demikian, situs porno di internet jumlahnya terus bertambah setia saat, sehingga penggunaan software anti pornografi perlu dibarengi dengan upaya yang lain, misalnya memberdayakan peran orang tua untuk mengawasi dan memberi penjelasan kepada anak – anak untuk tidak mengunduh pornografi lewat internet atau media lainnya. (Asep Saepudin:http//www.bahoya.com;27 Oktober 2014)
5.      PENCEGAHAN PORNOGRAFI DAN PERAN SERTA MASYARKAT DAN PEMERINTAH.
UU Pornigrafi tidak hanya membuat pasal – pasal larangan tetapi memuat pula peran serta masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyebarluasan pornografi.
Pasal 15 dikatakan “setiap orang berkewajiban melindungi anak tehadap pornigrafi dan mencegah akses anak terhadap pornografi”. Selanjutnya, dalam ketentuan umum pada pasal 1 yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Untuk usia 18 tahun, akses pornografi oleh anak – anak kemungkinan dilakukan lewat internet, dan tempat yang mudah di jangkau adalah warnet. Bagi pemilik dan pengelola warnet berkewajiban mengawasi dan mencegah akses pornografi lewat internet, misalnya mengatur posisi komputer agar menylitkan pengunjung situs porno dan upaya lainnya.
            Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembutan, menyebarluaskan, dan penggunaan pornografi, termasuk pemblokiran melalui internet. Pemerintah daerah berwenang mengembangkan edukasi, misalnya penyuluhan ke sekolah – sekolah tentang bahaya dan dampak pornigrafi. Masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk mencegah penyebarluasan pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosiolisasi kepada masyarakat tentang pornigrafi dan upaya pencegahannya. Peran serta pencegahannya masyarkat harus sesuai dengan undang – undang yang berlaku, maskudnya masyarakat tidak boleh melakukan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya, hal ini ditegaskan dalam bagian penjelasan UU Pornigrafi. (Bagus Prayogi:http//www.yogihaw.blogspot.com;28 Oktober 2014)
6.      PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PORNOGRAFI OLEH APARAT PENEGAK HUKUM.
Untuk melaksanakan UU Pornografi, Aparat Penegak Hukum memiliki kewenangan untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi. Berbagai upaya dapat dilakukan diantaranya melakukan razia (sweeping) di berbagai tempat termasuk pengguna komputer untuk memeriksa keberadaan produk pornografi, menindak para pembuat website pornografi, melakukan penyuluhan tentang bahaya pornografi dan sanksi pidana. Kewenangan aparat tersebut dipertegas dalam pasal 25 UU Pornigrafi tentang penyidikan bahwa penyidik berwenang membuka akses, memriksa file komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya. Pemilik data atau penyimpan data atau media jasa layanan elektronik wajib menyerahkan atau membuka data elektronik yang dimintai penyidik. (Bagus Prayogi:http//www.blogspot.com;28 Oktober 2014)




D.    KESIMPULAN
Undang – undang pornografi (sebelumnya berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang –Undang Antipornografi dan pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang – Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang – undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi Undang – Undang dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 30 Oktober 2008.
Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai “substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan – gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan atau erotika” sementara pornoaksi adalah “perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan atau erotika di muka umum”.
Peraturan perundang – undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi, selain Undang - Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi juga terdapat di perundang – undangan lainnya, di antaranya Undang – Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang – Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang – Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang – Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi mencantumkan pencegahan pornorafi dan pembertasan pornografi dari berbagai aspek dan upaya, baik itu oleh masyrakat, penegak hukum, dan lain sebagainya sebagai bentuk upaya mempertahankan norma – norma yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Asep Saepudin:http//www.barhoya.blogspot.com;27 Oktober 2014
Bagus Prayogi:http//www.yogihaw.blogspot.com;28 Oktober 2014
Bukukita:http//www.distributorkita.com; 27 Oktober 2014
dr. Widodo Judarwanto:http//www.demokrasiindonesia.com;27 Oktober 2014



Komentar