PEMBAGIAN WARIS DALAM ADAT “SUKU SASAK” LOMBOK TENGAH NTB

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Hukum waris Indonesia merupakan pembagian harta warisan dari pewaris ke ahli waris. Dalam pembagian di Indonesia menggunakan berbagai macam sumber hukum yakni menurut Burgelijk Wetboek (BW), Hukum Islam, dan Hukum Adat. Dalam BW pembagian warisan ada dalam berbagai pasal, diantaranya 832 terkait ahli waris, lebih spesifik lagi dalam pasal 852 a terkait ahli waris ab intestate (hubungan darah) yang artinya ada penggolongan-penggolongan, dan masih banyak lagi pasal dalam BW terkait pembagian secara rinci terkait waris ini. System waris dalam BW tidak mengenal istilah “harta gono gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, artinya dari siapapun harta tersebut meruakan kesatuan yang beralih dari pewaris kepada ahli waris, sebagaimana hal itu disebutkan dalam pasal 859 BW.
Namun berbeda dengan hukum islam terdapat system harta gono gini dan tidak mengenal penggolongan, akan tetapi hukum islam ada perbedaan ahli waris laki-laki dan perempuan, hal ini kita ketahui dalam sumber hukum islam yakni Al-Qur’an  surat An-Nisa. “Allah dengan segala rahmat –Nya, telah memberikan pedoman dalam mengarahkan manusia dalam hal pembagian harta warisan”, dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menyebutkan pembagian waris.
Sedangkan menurut hukum adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang system dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris.
Ketiga sumber hukum yang mengatur tentang pewarisan pada dasarnya akn tetap pada pengalihan hak terkait harta warisan dari pewaris kepada ahli waris, namun perbedaanya terkait system pembagian dari ketiga sumber hukum yang ada di Indonesia yang mengatur tentang waris ini berbeda. Tentunya hal ini karena ada sumber-sumber yang berbeda sebagaimana pemaparan singkat diatas. Dalam adat tentunya sumbernya adalah bagaimana kesepakatan dalam suatu daerah, karena satu daerah belum tentu sama dengan daerah yang lain. Seperti yang kita ketahui bahwa definisi hukum adat sendiri, penulis mencoba menguti beberapa ahli dalam mendefinisikan hukum adat, yakni Van Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunya sanksi, Ter Haar berpendapat bahwa hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan berwibawa dan berkuasa dari kepala rakyat (para warga masyarakat hukum), Soerjono Soekanto berpendapat bahwa hukum adat adalah kompleks adat-adat yang tidak dikitabkan (tidak dikodifikasikan) bersifat paksaan (mempunyai akibat hukum). Dari pengertian para ahli diatas penulis menyimpulkan bahwa hukum adat tersebut erat kaitannya dengan kesepakatan-kesepakatan masyarakat adat baik itu tertulis, tidak sistematis, tidak berbentuk kita pengundangan, tidak menggunakan konsideran, dan tidak menutup kemungkinan juga sebaliknya.
Dalam hal ini masalah waris juga akan demikian, tergantung dari kesepakatan-kesepakatan masyarakat adat, maka dalam penentuan pembagian waris dalam hukum adat juga tergantung kesepakatan, namun hukum adat juga banyak yang mengikuti hukum islam, dan bahkan BW.
Hukum adat dalam adat sasak dalam hal ini menganut ketiganya, karena walaupun satu adat, namun setiap daerahpun berbeda, namun condong kepada sumber hukum islam karena masyarakat adat yang menganut suku sasak yang ada di Lombok tengah NTB mayoritas beragama islam.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka, penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah system pembagian warisan dalam suku sasak yang di Lombok tengah NTB?
2.      Bagaimana perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya yang sama-sama menganut suku sasak?

C.     TUJUAN
Tujuan penulisan makalah atau karya ilmiah ini adalah:
1.      Memenuhi tugas mata kuliah hukum waris Indonesia
2.      Mengetahui pembagian pewarisan dalam hukum adat (suku sasak) Lombok tengah NTB.
3.      Menambah literature bagi kaum akademisi atau non akademisi.





BAB II
PEMBAHASAN

Dalam pembahasan ini penulis mencoba membedakan suku sasak yang kuno, dan suku sasak yang modern, untuk memudahkan pemahaman dalam menguraikan bagaimana pembagian waris dalam hukum adat suku sasak.
Namun sebelumnya penulis menguraikan definisi hukum waris adat secara umum mrnurut para ahli, Ter Haar hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi kepada generasi berikutnya[1], selain itu Soepomo menguraikan bahwa hukum waris adat adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan tidak berwujud (immatriele goederen), dari suatu angkatan generasi manusia kepada keturunannya.[2]
Dalam pengertian diatas penulis menyimmpulkan bahwa hukum waris adat yaitu mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud atau tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya yakni generasi keturunannya.
Dalam pewarisan hukum waris adat haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu:[3]
1.      Pewaris
2.      Harta warisan
3.      Ahli Waris
4.      Penerus dan pengoperan harta waris
Di Indonesia secara garis besar dikenal tiga system pewarisan dalam hukum adat, yaitu:[4]
1.      System pewarisan Individual
Suatu system pewarisan yang setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan/ atau memiliki harta warisan menrut bagiannya masing-masing. System pewarisan ini contohnya masyarakat prental jawa, dll.
2.      System pewarisan Kolektif
Pada system ini harta warisan diteruskan dan dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada ahli warisnya sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya. Setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan dan mendapatkan hasil dari harta warisan itu. System pewarisan ini contohnya pada masyarakat matrilineal di minangkabau, dll.
3.      System pewarisan Mayorat
System ini sebenarnya juga system kolektif, hanya saja penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga. System ini contohnya di pulau bali, Lombok, dll.
Sebagaimana penjelasan diatas bahwasanya setiap hukum adat yang di jalankan secara umum akan menggunakan unsur-unsur diatas, karena memang melihat dari pengertian hukum adat dan hukum waris adat yang sudah diuraikan sebelumnya, begitu juga dengan hukum adat dan hukum waris adat sasak.
Dalam hal ini penulis membagi menjadi dua bagian untuk memudahkan pemahaman terhadap hukum waris adat sasak yang ada di Lombok tengah NTB, yaitu sebagai berikut:
a.      Hukum adat Suku sasak kuno.
Suku sasak adat kuno ini pembagian waris menurut dua sumber hukum saja, yakni bersumber dari hukum islam dan hukum adat sasak sendiri. Hukum islam dalam hal ini karena memang masyarakat adat suku sasak banyak penganut hukum islam, maka sering dijumpai dalam pembagian waris menggunakan hukum islam terkait hal-hal yang berupa materil, namun seperti yang kita ketahui bahwasanya dalam adat sasak ada juga harta warisan yang tidak berupa materil dan tidak bisa dibandingkan dengan materil, seperti contoh peninggalan turun temurun (keris, rumah adat, dan peninggalan-peninggalan dari nenek moyang lainnya) maka, biasanya dalam hal ini dirembukkan (sesuai suku sasak) dengan keluarga siapa yang pantas untuk menerima harta warisan tersebut.
Yang terkait pembagian menurut hukum islam maka, dalam hal ini akan mengenal perbedaan antara bagian laki-laki atau perempuan sebagaimana hukum islam. Namun dalam hukum adat suku sasak banyak menggunakan atau penyelesaian senketa waris dengan kekeluargaan, dirembukkan dengan keluarga dan apabila tidak selesai secara musyawarah keluarga maka, akan ditentukan dengan kepala suku sasak sendiri.
b.      Hukum adat Suku sasak modern.
Suku sasak modern yang dimaksud yang biasanya didaerah perkotaan, selain itu juga karena memang hari ini suku sasak sendiri sudah mengikuti perkembangan zaman. Modernitas kerap sekali ditemukan dalam suku sasak perkotaan, tentunya dalam hal ini pembagian waris.
Pembagian waris adat suku sasak modern menggunakan ketiga sumber hukum yang ada, yaitu BW, Hukum Islam, dan Hukum adat suku sasak sendiri.
Namun yang perlu ditekankan disini ialah walaupun hukum adat suku sasak mengikuti perkembangan zaman atau disebut modern, akan tetapi mayoritas dalam penyelesaian senketa waris menggunakan asas kekeluargaan, yakni dimusyawarahkan dalam keluarga terkait walaupun dimungkin pembagian menggunakan salah satu sumber hukum yan berlaku di Indonesia.
Singkatnya menurut hemat penulis, walaupun pembagian menggunakan salah satu dari ketiga sumber hukum yang dikatakan diatas, baik itu suku sasak kuno maupun suku sasak modern dalam penyelesaian sengketa akan tetap bergantung pada musyawarah keluarga terkait. Namun apabila tidak selesai maka, akan diserahkan ke pemangku adat (ketua adat), atau bahkan ke meja hijau “proses peradilan di pengadilan setempat”.



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Pembagian waris dalam hukum adat suku sasak menggunakan BW, Hukum Islam, dan Hukum adat suku sasak. Sepeti yang dijelaskan diatas, suku sasak kuno mayoritas akan menggunakan Hukum Islam dan Hukum Adat Suku Sasak, sedangkan suku sasak modern akan menggunakan BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat Suku Sasak.
Penyelesaian sengketa dalam pembagian waris dala suku sasak tetap mengedepankan asas kekeluargaan “musywarah keluarga.

B.     KRITIK DAN SARAN
Berangkat dari pepatah yang mengatakan “tidak ada gading yang tak retak”, begitu juga dengan makalah/ karya ilmiah ini, jauh dari kata sempurna namun demi proses pembelajaran penulis maka dengan rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalaj/ karya ilmiah ini.
Mahasiswa seharusnya ingin memperbaiki kesalahan dan belajar dari kesalahan  tersebut, demi tercapainya tujuan sebagai manusia secara umum, mahasiswa secara khusus.



DAFTAR PUSTAKA

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993

Ter Haar, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto, Let. N. Voricin Vahveve, Bandung, 1990

Wahyudin Balone, Kedudukan Hukum Waris Adat Terhadapa Hukum Waris Di Indonesia, http//juctice95.wordpress.com, diakses tanggal 22 Desember 2016.





[1] Ter Haar, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto, Let. N. Voricin Vahveve, Bandung, 1990
[2] Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993
[3] Wahyudin Balone, Kedudukan Hukum Waris Adat Terhadapa Hukum Waris Di Indonesia, http//juctice95.wordpress.com, diakses tanggal 22 Desember 2016.
[4] Enang El Firdaus, Hukum Waris Adat, http//academia.edu, diakases tanggal 22 Desember 2016.

Komentar