Penyelesaian delik adat dan proses peradilan hukum adat sasak

MAKALAH HUKUM PIDANA ADAT
“HUKUM PIDANA ADAT SUKU SASAK”




Oleh:
Hendrik Kiawan Wirantanus
201410110311302



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2017



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Indonesia adalah Negara yang berbentuk Negara hukum yang yang demokratis, artinya merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Supremasi hukum merupakan konsekuensi logis dari bentuk Negara yang sudah kita sepakati.
Hanya saja dalam penegakan hukum di Indonesia ini masih belum bisa dikatakan efektif dan efisien karena beberapa sebab yang mempengaruhinya, termasuk dalam hal ini penegakan hukum dalam lintas hukum pidana di Indonesia.  
Beberapa permasalahan menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LLM ketidakberhasilan yang tidak signifikan selama ini menunjukkan beberapa sebab, diantaranya Sumber Daya Manusia penegak hukum, sarana prasarana, kekeliruan pemahaman ahli hukum pidana tentang fungsi dan peranan hukum pidana dalam pembangunan nasional.
Dalam perkembangannya, Indonesia dengan bentuk Negara hukum yang demokratis memberikan beberapa solusi dari permasalahan yang dihadapinya, diantaranya mengakui keberadaan hukum adat dalam peraturan perundang-undangan, selain itu juga diperkuat oleh para ahli, termasuk dalam hal ini Yehezke Dror bahwa tidak seluruh aspek kehdupan dapat diatur dengan undang-undang karena bentuknya hukum adat yang tidak tertulis, keharusan mengormati hukum asli juga diserukan oleh penganut teori antropologi hukum fungsional.[1]
Hukum adat adalah adalah system hukum adat dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan beberapa Negara lainnya. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Sedangkan menurut Tolib setiady, hukum adat delik (adatrecht delicten) atau hukum pidana adat atau hukum pelanggaran adat ialah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat pada terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu.[2]
Adat suku sasak merupakan suku asli yang berada di Lombok, Nusa Tenggara Barat, suku sasak masih dikenal dengan tradisionalnya dan masih berpegang teguh adat istiadatnya.[3]
Hukum pidana adat, sebagai satu kesatuan system dengan hukum adat artinya tidak bisa terlepaskan satu sama lainnya. Walaupun politik hukum nasional mengatah kepada unifikasi hukum, namun hukum adat merupakan suatu kenyataan yang masih berlaku dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Hukum pidana adatpun di beberapa masyarakat adat di Indonesia tersebut masih kuat berlakunya.[4]
Oleh karena itu adat suku sasak pun masih banyak menggunakan hukum adatnya dalam penyelesaian delik adat yang melalui peradilan adat suku sasak itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana cara penyelesaian delik adat dalam suku sasak?
2.      Bagaimana proses hukum adat peradilan dalam suku sasak?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Cara Penyelesaian Delik Adat Dalam Suku Sasak
a.      Pengertian dan unsur-unsur delik adat
Dalam bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dalam bahasa Belanda disebut delict dan dalam bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia arti delik diberi batasan sebagai berikut “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang”.
Menurut Halim (chazawi:2002) menyatakan delik adalah suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diacnam dengan hukuman oleh undang-undang.
Moeljatno (chazawi:2002) mengartikan bahwa suatu strafbaarfeit itu sebenarnya adalah suatu keakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Simons (lamintang:1997) adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan yang dapat dihukum.
Hemat penulis dari berbagai pengertian tentang delik ini mengelompokkan 5 (lima) istilah yang biasa digunakan oleh beberapa sarjana hukum sebagai berikut:
-          Peristiwa pidana : digunakan oleh Andi Zainal A (1962)
-          Perbuatan pidana : oleh Moeljatno (1983), dll.
-          Perbuatan yang boleh dihukum : Van Schravendijk (1986), dll
-          Tindak pidana : oleh Wirjono P (1986), dll.
-          Delik : oleh Andi Zainal A (1981), Sotochid Karta Negara, dll
Sedangkan yang dimaksud dengan delik adat menurut Ter Haar ialah tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang mareriil dan immaterial milik hidup seorang atau satu kesatuan (persatuan) orang-orang, yang menyebabkan timbul suatu reaksi adat, dengan reaksi tersebut harus dapat dipulihkan kembali.[5]
Menurut Van Vollenhoven berpendapat bahwa delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan tersebut hanya merupakan kesalahan yang kecil saja.[6]
 Adapun unsur dari delik itu sendiri ialah terbagi menjadi 4 (empat) syarat:
-          Ada perbuatan
-          Perbuatan bertentangan dengan norma-norma masyarakat
-          Mengganggu keseimbangan masyarakat
-          Reaksi atau sanki adat
Jenis-jenis reaksi adat (adat koreksi/ sanksi adat) terhadap pelanggaran hukum adat dibeberapa lingkungan hukum adat di indonesia, misalnya:
1.      Pengganti kerugian-kerugian imateriil dalam berbagai rupa, sperti paksaan menikahi gadis yang dicemarkan;
2.      Bayaran uang adat kepada yang terkena, yang berupa benda sakti sebagai pengganti kerugian rohani;
3.      Penutup malu, permintaan maaf
4.      Berbagai hukuman badan hingga hukuman mati;
5.      Pengasingan dari masyarkat serta meletakkan orang itu diluar tata hukum.[7]

b.      Adat suku sasak
Suku sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan menggunakan bahasa sasak. Sebagian besar suku sasak beragam Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku sasak, terdapat praktik agama Islam yang meskipun agak berbeda dengan Islam pada umumnya, namun perkembangannya suku sasak mayoritas menggunakan praktik Islam sebagaimana Islam umumnya.
Sehingga dalam penyelesaian delik adat sasak seringkali tidak bisa dibedakan dengan sebagaimana ajaran islam, karena sebagaimana sejarahnya masyarakat suku sasak merupakan mayoritas beragama Islam. Namun disini penulis lebih menekan ajaran islam yang menjunjung tinggi kesetaraan, kekeluargaan, dan gotong royongnya.
Oleh karena itu apabila terjadi perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat maka, dalam penyelesaian dilakukan secara kekeluargaan, yakni antara pihak pelakunya akan dibawa dengan walinya untuk menghadap kepada Keliang (kepala suku/ hakim) oleh orang yang mengetahui perbuatan terlarang tersebut, dan cukup dengan satu saksi tersebut.
Adapun reaksi atau sanksi adat tersebut akan mengutamakan pembelajaran untuk pelaku tersebut agar tidak mengulangi perbuatan yang tercela itu lagi.
Reaksi atau sanki adat disuku sasak terbagi 3 (tiga):
1.      Reaksi ringan
Biasanya dalam bentuk pemanggilan terhadap pelaku aturan oleh Keliang untuk diberikan peringatan. Reaksi ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih masyarakat suku sasak, ghibah, saling menghina satu dengan yang lainnya, dll.

2.      Reaksi berat
Diberlakukan terhadap masyarakat adat yang melakukan perbuatan yang berat, pelaku perbuatan yang menyeleweng itu akan dibawa oleh masyarkat tertua (sepuh adat) untuk dibawa ke Keliang untuk diberi peringatan, selain peringatan juga akan dibebankan denda uang adat, membiayai perbaikan sarana prasana yang digunkan oleh orang umum, wajib mengikuti bimbingan keliang selama beberapa bulan “keliang merasa sudah cukup”. Reaksi berat anatara lain adu fisik (perseorangan atau kelompo), menghina struktur penegak hukum adat, dll.
Reaksi berat ini juga akan berlaku terhadap reaksi ringan yang dilakukan untuk kedua kalinya.

3.      Pengadilan (hukum positif/ hukum islam)
Akan dilakukannya sebagaimana hukum positif atau hukum islam dengan cara dilaporkan ke pihak yang berwajib, tanpa ada pembelaan dari keliang ataupun struktur yang lainnya.

Sederhananya penyelesaian delik adat suku sasak seringkali ditemukan hampir mirip dengan penyelesaian dalam hukum Islam yakni melalui kekeluargaan. Musyawarah mufakat tersebut yang akan ditengahi antara pihak pelaku dan korban akan ditengahi oleh Keliang, yakni bertindak selayaknya hakim dan tidak boleh memihak di satu pihak atau menguntungkan dan merugikan satu pihak.

Contoh kasus: apabila si A cekcok adu mulut dengan si B, pada suatu pihak merasa dirugikan dan melapor kepada masyarakat tertua, atau langsung melapor kepada Keliang, atau dilaporkan oleh masyarakat lainnya baik berdasarkan merasa terganggu ataupun ketakutannya masalah tersebut akan berlanjut ke masalah yang lebih besar.
Maka penyelesainnya, para pihak akan dipanggil oleh masyarkat tertua (sepuh adat), atau langsung pemanggilan tersebut oleh hakim pada dasarnya untuk didamaikan, reaksinya sebaimana kasus tersebut termasuk dalam reaksi ringan maka reaksinyapun sebagaimana mestinya, selain dicarikan solusi daripada kasus tersebut kedua belah pihakpun akan diberi peringatan untuk tidak mengulangi atau meneruskan cekcok tersebut.
Namun apabila sudah ada kesepakatan dan menyatakan damai akan tetapi terjadi lagi maka, kedua belah pihakpun akan dipanggil kembali dan akan dijatuhi reaksi berat karena mengulangi kembali atau membangkang atas solusi yang sudah diberikan oleh keliang. Reaksi adatpun akan bertambah berat karena sudah termasuk dalam reaksi berat meskipun awalnya hanya reaksi ringan karena terjadi untuk kedua kalinya oleh para pihak yang sama dan dalam kasus yang sama pula.
Sedangkan apabila tiga kali sudah menghadi keliang dalam kasus yang sama, akan tetapi masih berlanjut maka, keliang atau masyarakat tertua (sepuh adat) akan melaporkan kepada pihak yang berwajib.

B.     Hukum Adat Peradilan Dalam Suku Sasak
Adapun proses peradilan dalam suku sasak ialah:
1.      Pemanggilan
Pemanggilan ini dilakukan oleh masyarakat tertua (sepuh adat) untuk dimintakan pertanggungjawaban atas suatu perbuatan yang tercela. Segala perbuatan tersebut hanya membutuhkan satu orang saksi atau langsung diketahui oleh masyarakat tertua (sepuh adat).
2.      Menghadap keliang
Proses untuk pejatuhan reaksi, yakni dari reaksi ringan dalam bentuk peringatan apabila itu termasuk dalam reaksi ringan, namun apabila termasuk dalam reaksi berat maka akan ditambahkan reaksi lainnya sebagaimana yang sudah diuraikan diatas.
3.      Proses menjalankan reaksi/ akan menjalankan reaksi
Tahap ini merpakan pemulihan sebagaimana yang diinginkan oleh keliang, pemulihan yang dimaksud ialah menjalankan peringatan, bayar denda adat dll.

Bagan alur peradilan suku sasak:


 


BAB III
PENUTUP

1.      Dalam bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dalam bahasa Belanda disebut delict dan dalam bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia arti delik diberi batasan sebagai berikut “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang”.
2.      Pengertian tentang delik ini mengelompokkan 5 (lima) istilah yang biasa digunakan oleh beberapa sarjana hukum sebagai berikut:
-          Peristiwa pidana : digunakan oleh Andi Zainal A (1962)
-          Perbuatan pidana : oleh Moeljatno (1983), dll.
-          Perbuatan yang boleh dihukum : Van Schravendijk (1986), dll
-          Tindak pidana : oleh Wirjono P (1986), dll.
-          Delik : oleh Andi Zainal A (1981), Sotochid Karta Negara, dll
3.      Adapun reaksi atau sanksi adat tersebut akan mengutamakan pembelajaran untuk pelaku tersebut agar tidak mengulangi perbuatan yang tercela itu lagi. Reaksi atau sanki adat disuku sasak terbagi 3 (tiga): Reaksi ringan, reaksi berat, pengadilan (hukum positif/ hukum islam)
4.      Adapun proses pengadilan disuku sasak yakni: pemanggilan, menghadap keliang, proses menjalankan reaksi/ akan menjalankan reaksi.





[1] Yehezke Dror, law and social change, Tulane law review.
[2] Tolib setiady, Intsari Hukum Adat Indonesia, (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung: alfabeta 2009.
[3] Titin P, http//kompasiana.com:  Mengenal Adat Istiadat Suku Sasak Lombok, diakses 02 Okt 2017.
[4] Tolib Setiady, Op.cit.,
[5] Dinda, SH, http//dshj83@wordpress.com: delik adat, diakses 02 Okt 2017.
[6] Ibid.
[7] Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat , Jakarta: Pradnya P, 1982.

Komentar