penyelesaian perkara perceraian yang diselesaikan melalui peradilan agama: perceraian anatara Eka Kusuma dan Cathy Sharoon bisa di kabulkan oleh hakim pengadilan agama
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perceraian
adalah salah satu bentuk pasangan daripada perkawinan, dalam islam sendiri hal
ini tidaklah dianjurkan oleh sumber-sumber dalam hukum islam, selanjutnya dalam
Negara kita menganut hukum positif sehingga sumber-sumber hukum islam
dikodifikasikan dalam bentuk hukum positif yang bisa digunakan oleh orang-orang
islam yang menempati Negara posistif, dalam hal ini Negara Indonesa. Banyak
hukum positif yang bersumber dari ajaran agama islam yang dikodifikasikan
menjadi hukum positif Indonesia. Diantaranya yakni Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Secara garis besar hukum
positif tersebut hasil kodifikasi dari hukum islam.
Hukum
perkawinan yang disebutkan oleh hukum positif diatas menerangkan dari
pengertian, tujuan hingga penyelesaian dari setiap terjadi pelanggaran yang
dilakukan oleh setiap orang yang menggunakan hukum positif tersebut, dalam hal
ini agama islam.
Peradilan
agama dalam hal ini adalah peradilan setiap kasus terkait hukum islam
(perceraian) bagi setiap masyarakat khsusnya yang beragama islam, dimana juga
perkawinan merupakan kompetensi absolut dari peradilan agama. Namun, dengan
catatan disini bukan berarti juga bahwa perceraian harus dilakukan juga di
peradilan agama, karena masalah perceraian juga bisa dilakukan di peradialan
negeri.
Perkara
perceraian bagi setiap orang yang beragama islam, tentunya semestinya harus
menggunakan hukum-hukum islam, beberapa perkara perceraian harus berakhir di
peradilan agama demi mewujudkan tujuan perkawinan itu sendiri.
Dalam
tugas makalah ini, penulis akan menganalisis perkara perceraian yang terjadi
diantara Eka Kusuma dan Cathy Sharoon, apaka perkara perceraian ini bisa
diterima hakim ataukah tidak dan kemungkinan lain yang akan terjadi.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari
latar belakang diatas dapat ditarik rumuasan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
penyelesaian perkara perceraian yang diselesaikan melalui peradilan agama?
2. Apakah
perkara perceraian anatara Eka Kusuma dan Cathy Sharoon bisa di kabulkan oleh
hakim pengadilan agama?
C. TUJUAN
1. Mengetahui
penyelesaian perkara yang melewati peradilan agama.
2. Mengetahui
penyelesaian perkara perceraian antara Eka Kusuma dan Cathy Sharoon melalui
peradilan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERKARA PERCERAIAN DALAM PERADILAN
AGAMA
Pengadilan
agama adalah satu dari empat lingkungan peradilan Negara yang dijamin
eksistensinya dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Kemudian kedudukan peradilan agama ini semakin kuat setelah
diundangkan Undang-undang No. 50 Tahun
2009 Tentang Peradilan agama.
Pengadilan
agama memiliki tugas dan wewenang memeriksa, memuutus, dan menyelesaikan
perkara – perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di
bidang: perkawinan, waris, wasiat. Hibah, waqaf. Zakat, infaq, dan lain-lain.
sesuai penjelasan pasal 49 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
yang dimaksudkan bidang perkawinan antara lain:
1. Izin
beristri lebih dari seorang (poligami)
2. Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berumur 21 tahun.
3. Dispensasi
kawin
4. Pencegahan
perkawinan
5. Penolakan
perkawinan oelh pegawai pencatan sipil
6. Pembatalan
perkawinan
7. Gugatan
karena kelalaian atas kewajiban suami istri
8. Perceraian
karena talak
9. Gugatan
perceraian
10. Dll.
Perceraian
(kedua belah pihak - muslim) merupakan salah satu kompetensi absolut dari
peradilan agama, yang mana hal ini diperbolehkan juga menyelesaikan di peradian
negeri sebagaimana yang disebutkan diatas. Perceraian di lakukan dalam
peradilan agama sama halnya dengan peradilan negeri yang mengurus masalah
perdata harus mementingkan alat bukti. Tolak ukur yang harus bisa dibawa ke
peradilan agama dalam agama islam harus sesuai dengan hukum islam, ketika tidak
maka, hal ini diselesaikan melalui jalur hukum.
Menurut
Amir Syarifuddin, putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam
Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya
hubungan perkawinan. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk
tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan
itu. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan:[1]
a.
Putusnya perkawinan atas kehendak Allah
sendiri melalui matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan
sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan.
b.
Putusnya perkawinan atas kehendak si
suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan
tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut dengan talak.
c.
Putusnya perkawinan atas kehendak si
istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan yang
disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan
dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putus perkawinan
dengan cara ini disebut khulu’.
d.
Putusnya perkawinan atas kehendak hakim
sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada
istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan.
Putusnya perkawinan ini disebut dengan fasakh.
Undang-Undang
Perkawinan menggolongkan secara umum mengenai 2 putusnya hubungan perkawinan
kepada tiga golongan:[2]
a.
Karena kematian salah satu pihak.
b.
Karena perceraian atas tuntutan salah satu pihak.
c.
Dengan putusan pengadilan
Dalam
suatu perkawinan, apabila antara suami dan istri sudah tidak ada kecocokan lagi
untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia baik lahir maupun batin
dapat dijadikan sebagai alasan yang sah 3 untuk mengajukan gugatan perceraian
ke persidangan pengadilan.[3]
Adapun
alasan-alasan yang dapat dipergunakan dalam pengajuan 7 permohonan gugatan
perceraian antara lain:[4]
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 (dua) tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f.
Antara suami dan istri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga
B. PERKARA DAN PENYELESAIAN KASUS
Jelas
dari keterangan diatas terkait hal-hal yang dapat di selesaikan dalam peradilan
agama, termasuk Kasus antara Eka Kusuma dan Cathy Sharoon ini:
Dengan
posisi kasus:
Eka Kusuma suami dari Cathy Sharoon mengajukan gugatan perceraian dengan
istrinya tersebut. Dari persidangan tahap pertama hingga banding bahkan akan
masuk kasasi kasus perceraian tersebut ditolak oleh hakim dengan alasan bahwa
setiap alat bukti dari penggugat masih belum kuat. Pengajuan peceraian oleh
penggugat tersebut beralasan bahwa tergugat anatara lain: sering pulang malam,
ada pertengkaran terus menerus, hingga kemudian penggugat di tuduh sering ada
pesta di dalam negeri maupun luar negeri, namun dalih dari penggugat tersebut
masih belum memiliki alat bukti yang kuat yang dapat menjadi pertimbangan
hakim. Selain itu juga dalam persidangan tergugat mengajukan bahwa penggugat
sendiri sebaliknya, hingga dari dalih tergugat tersebut rencana akan dijadikan
alat bukti di tahap selanjutnya . sedangkan dari pihak tergugat masih berharap
bahwa penggugat akan lunak daan lebih memahami kemudian kembali lagi ke
keluarga.
Dari
awal tahun 2016 hingga saat ini gugatan perceraian tersebut belum diterima
hakim sedangkan kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) sudah pisah rumah,
yang kemudian juga di jadikan alat bukti oleh penggugat bahwa pernikahan itu
tidak bisa dilanjutkan, setelah bukti foto, dan keterangan saksi, tidak bisa
diterima oleh hakim.
Setiap
dari putusan awal hingga banding dari pihak tergugat menyambut baik setiap putusan tersebut karena
seorang ibu membutuhkan pendamping dalam merawat dan membesarkan anak.setelah
ada putusan banding penggugat ingin terus maju dalam kasus perceraian dan akan membicarakan hak asus anak.
sedangkan dari pihak tergugat masih ingin mempertahankan pernikahan suci
tersebut. Namun setelah putusan hakim sampai tahap banding yang masih menolak
gugatan cerai dari penggugat menghasilkan hubungan kedua belah pihak semakin
memburuk.[5]
Analisis: Beranjak dari kasus posisi kasus
diatas, bahwa hakim menolak gugatan penggugat dengan alasan-alasan diatas. Bagi
saya alasan-alasan hakim menolak diatas sudah benar, selama alat bukti dari
dalih yang diajukan penggugat masih belum kuat dalam artian masih ada yang
mengganjal dari setiap alat bukti dan tergugat bersikeras mempertahankan
pernikahan.
Namun
yang akan menjadi pertimbangan nanti ketika naik ke tingkat kasasi, maka
gugatan dari penggugat diterima
yakni untuk perceraian antara kedua belah pihak.
Alasan-alasannya
ialah sebagai berikut:
1.
Menimbang,
dalam setiap persidangan alat bukti masih belum kuat dari pihak penggugat,
namum dari putusan tingkat banding ada penyampaian dari tergugat terkait
penggugat juga melakukan hal-hal yang didalihkan oleh penggugat sendiri yang kemudian
dapat dijadikan alat bukti yang kuat untuk tahap selanjutnya. Walaupun pada hal
ini undang-undang ataupun KHI menekan/ menitik beratkan pada alat bukti namun,
alat bukti yang selanjutnya diatas dapat menjadi alat bukti kuat.
2.
Menimbang,
sampai pada tingkat banding penggugat masih bersikeras ingin bercerai dengan
tergugat, yang kemudian dapat menjadi bukti bahwa pernikahan tersebut tidak
bisa dilanjutkan walaupun dari pihak tergugat masih ingin mempertahankan
pernikahan. Namun bagaimanapun dalam posisi penggugat sudah tidak ingin
melanjutkan, dan walaupun ditolak kembali pada tahap kasasi tidak menjamin
penggugat akan balik kerumah dan hidup rukun kembali, dan benar bahwa dalam
hubungan pernikahan adalah sunnah rasul dan dianjurkan dan agama islam melarang
untuk bercerai, namun apabila dipertahan masih ada kemungkinan buruk yang
terjadi yakni diantaranya tidak dinafkahi, dll.
3.
Menimbang,
terbukti sampai tahap kasasi ini hubungan dari kedua belah pihak semakin tambah
ricuh dan tidak memungkin untuk pembatalan perceraian, walaupun dalam hal ini
agama mengingingkan berdamai dan hidup rukun serta harmonis dengan sepasang
insan yang sudah menikah. Namun dalam kasus ini memperlihat tidak memungkin
untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
4.
Menimbang,
bahwa walaupun dalam gugatan perceraian tersebut diterima artinya harus
bercerai juga tidak menjamin keharmonisan dll, namun setidaknya kedua belah
pihak masih kemungkinan hidup bahagia untuk selanjutnya dengan kehidupan yang
baru.
5.
Menimbang,
bahwa perkawinan menurut hukum islam yang disebutkan dalam pasal 2
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalizah untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibdah.
6.
Menimbang
tujuan dari pernikahan yang disebutkan pasal 3 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawina, adalah perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Keberadaan
peradilan agama dijamin eksistensinya dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasan Kehakiman dan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama.
2. Perkara
perceraian merupakan salah satu kompetensi absolut dari peradilan agama yang
selanjutnya dikuatkan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
3. Kasus
antara Eka Kusuma dan Cathy Sharoon yang mengajukan ke peradilan agama untuk
bercerai harus di putuskan bercerain karena tidak mencapai tujuan dari pada
perkawinan itu sendiri.
B. SARAN
Demi
terwujudnya tujuan dari hukum secara umum, dan pekawinan secara khsus, maka
dari penjelasan dan analisis penulis tidak lain hanya untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Terlepas dari maka, penulis mencoba menganalisis dari
segi hukum positif (hukum yang berlaku), dan semestinya harus menggunakan hukum
yang berlaku dan tidak lupa kembali melihat sumber-sumber dari hukum islam
karena sumber-sumber hukum islam itulah tempat kebenaran yang diinginakan oleh
agama islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).
PP Nomor 9 tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU Nomor 1974 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Sayuti Thalib, Hukum
Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986).
Sarwono, Hukum Acara
Perdata Teori dan Praktek, (Jakarta:
Sinar Grafika 2012).
Sumber:
liputan6.com
Undang-undang Republik
Indonesia No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Republik
Indonesia No. 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama
Undang-undang Republik
Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[1] Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).
[2] Sayuti Thalib, Hukum
Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986).
[3] Sarwono, Hukum Acara
Perdata Teori dan Praktek, (Jakarta:
Sinar Grafika 2012).
[4] Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU Nomor 1974 tentang Perkawinan
[5] Sumber: liputan6.com
Komentar
Posting Komentar