ANALISIS SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL DALAM ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DAN POSITIVISME
Dosen: Wasis., SH., M.Si
oleh:
Hendrik Kiawan Wirantanus
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum adalah
sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak
yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk
mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya. dari pengertian hukum tersebut maka kita juga harus mengetahui
tentang sistem hukum. System hukum adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain
dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut
diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum, dan pengertian hukum. System hukum secara umum memilik 4 jenis yaitu:
1. Anglo saxon (common law)
2. Eropa Kontinental (civil law)
3. hukum adat
4. hukum Islam.
Melihat dari prinsip-prinsip system
hukum yang ada, Indonesia termasuk dalam Negara yang menganut system hukum Eropa
Kontinental. Selain daripada bahwa Indonesia ketika dilihat dari aspek sejarah
bahawa Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-indie), juga disebutkan diatas bahwa system eropa kontinental
merukan system hukum yang berkembang di eropa.
Semula berasal dari kodifikasi
hukum yang berlaku dikekaisaran yustitianus yang mempunyai pengaruh besar dalam
penyusunan kodifikasi pada abad IV SM, yang dimana prinsip utamanya ialah
“hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam
peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik
di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu.[1]
Kemudian masih banyak para ahli yang mengatakan bahwa Indonesia salah satu
Negara yang menganut system hukum eropa continental, namun system hukum eropa
kontinetal yang tidak murni dikarenakan walaupun dikatakan sebagai penganut
eropa kontinental namun masih ada prinsip system lainnya yang digunakan dalam
poros penegakan hukum di Indonesia.
Dalam hal diatas, system hukum
adat, system hukum islam, bahkan system hukum anglo saxon pun tidak dapat
dielakkan. Dalam hal ini memang terkait system hukum masih dalam perdebatan
hingga sekarang. Namun dalam perdebatan tersebut system hukum eropa kontinental
lah yang masih kuat terlihat.
Sidangkan dalam dunia filsafat
hukum terdapat aliran-aliran yang dianut dalam system hukum yaitu Mazhab sociological
jurisprudence dan mazhab positivisme. Dari kedua jenis mazhab tersebut tidak
cenderung murni salah satu dari system hukum diatus, namun dapat dikatakan ada
kemiripin
.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka penulis menarik rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana system Hukum Eropa Kontinental yang dilihat
berdasarkan Mazhab sociological jurisprudence ?
2. Bagaimana system Hukum Eropa Kontinental yang dilihat
berdasarkan mazhab Positivisme ?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Memenuhi
tugas UAS dalam mata kuliah Filsafat Hukum
2. Agar
mengetahui bagaimana system hukum Eropa Kontinental
yang dilihat berdasarkan kedua mazhab dalam filsafat hukum.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
System
hukum
Dalam pengertiannya terdapat pengertian
Sistem Hukum Menurut Para Pakar, sebagai berikut :
1. Pengertian Sistem Hukum menurut
pendapat Sudikno Mertukusumo adalah Suatu kesatuan yang
terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja
sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.
2. Menurut Bellefroid, Pengertian Sistem Hukum adalah rangkaian kesatuan
peraturan-peraturan hukum yang disusun secara tertib menurut asas-asasnya.
3. Scolten mengatakan, Pengertian Sistem Hukum adalah
kesatuan di dalam sistem hukum tidak ada peraturan hukum yang bertentangan
dengan peraturan-peraturan hukum lain dari sistem itu.
4. Pengertian Sistem Hukum Menurut pendapat Subekti merupakan
suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan dimana terdiri dari
bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusunan menurut suatu rencana atau
pola, hasil dari suatu pemikiran tersebut untuk mencapai suatu tujuan.
Dari pengertian sistem hukum diatas dapat disimpulkan bahwa
:
Pengertian Sistem hukum adalah suatu kesatuan
peraturan-peraturan hukum yang terdiri atas bagian-bagian (hukum) yang
mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain, yang tersusun sedemikian rupa
menurut asas-asasnya, dimana berfungsi untuk mencapai tujuan. Masing-masing
bagian tidak berdiri sendiri, tetapi saling terikat. Arti pentingnya yaitu
setiap bagian terletak pada ikatan sistem, dalam kesatuan dan hubungannya yang
sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lainnya.
Bagian-bagian dari hukum merupakan
unsur-unsur yang mendukung hukum sebagai suatu kesatuan (integral) dalam suatu
jaringan dengan hubungan yang fungsional, resiprokal dan interdepedensi.
Misalnya antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara, Hukum
Pidana dengan Hukum Perdata, dan seterusnya yang mengarah pada tujuan yang
sama, yaitu menciptakan kepastian hukum keadilan dan kegunaan.
Sistem hukum juga tidak terlepas dari
asas-asas yang mendukungnya. Untuk itu hukum adalah suatu sistem, yang artinya
susunan atau tataan teratur dari aturan-atruran hidup, keseluruhannya terdiri
atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain. Dalam sistem hukum yang baik
tidak boleh terjadi pertentangan di antara bagian-bagian yang ada. Jika suatu
pertentangan atau kontradiksi tersebut terjadi, sistem itu sendiri yang menyelesaikannya
sehingga tidak berlarut.Hukum yang merupakan sistem yang tersusun
atas sejumlah bagian-bagian yang masing-masing merupakan sistem yang dinamakan
subsistem. Contohnya : sistem hukum positif Indonesia, terdapat subsistem hukum
pidana, subsistem hukum perdata dan lainnya saling berbeda.[2]
Sistem hukum di dunia ini ada
bermacam-macam yang satu dengan lainnya saling berbeda. Berikut adalah Macam-Macam Sistem Hukum Dunia
1.
Sistem Hukum Eropa
Kontinental
Sistem hukum ini berkembang di
negara-negara Eropa daratan yang sering disebut sebagai “Civil Law”. Sebenarnya
semula berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada
masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI Sebelum Masehi.
Peraturan-peraturan hukumnya merupakan kumpulan dari pelbagai kaidah hukum yang
ada sebelum masa Justinianus yang kemudian disebut “Corpus Juris Civilis”.
Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada Corpus Juris
Civilis itu dijadikan dasar perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara
Eropa Daratan, seperti Jerman, Belanda, Perancis, dan Italia, juga Amerika
Latin dan Asia termasuk Indonesia pada masa penjajahan pemerintah Belanda.
Prinsip utama yang menjadi dasar sistem
hukum Eropa Kontinental itu ialah “hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena
diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun
secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu”. Prinsip dasar
itu dianut mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah
“kepastian hukum”. Dan kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau
tindakan-tindakan hukum manusia di dalam pergaulan hidup diatur dengan
peraturan-peraturan hukum yang tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan
berdasarkan sistem hukum yang dianut, maka hakim tidak dapat leluasa untuk
menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi
“menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya”.
Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang
berperkara saja (doktrins Res Ajudicata). Sejalan dengan pertumbuhan
negara-negara nasional di Eropa, yang bertitik tolak kepada unsur kedaulatan
(sovereignty) nasional termasuk kedaulatan untuk menetapkan hukum, maka yang
menjadi sumber hukum di dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah
undang-undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatife. Selain itu
juga diakui “peraturan-peraturan” yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif
berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-undang
(peraturan-peraturan hukum administrasi negara) dan kebiasaan-kebiasaan yang
hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan
dengan undang-undang. Berdasarkan sumber-sumber hukum itu, maka sistem hukum
Eropa Kontinental penggolongannya ada dua yaitu penggolongan ke dalam bidang
“hukum publik” dan hukum privat”.
2. Sistem Hukum Anglo Saxon (Anglo Amerika)
Sistem hukum Anglo Saxon, yang kemudian
dikenal dengan sebutan “Anglo Amerika”, mulai berkembang di Inggris pada abad
XI yang sering disebut sebagai sistem “Common Law” dan sistem “Unwritten Law” (tidak
tertulis). Walaupun disebut sebagai unwritten law tetapi tidak sepenuhnya
benar, karena di dalam sistem hukum ini dikenal pula adanya sumber-sumber hukum
yang tertulis (statutes). Sistem hukum Anglo Amerika ini dalam perkembangannya
melandasi pula hukum positif di negara-negara Amerika Utara, seperti Kanada dan
beberapa negara Asia yang termasuk negara-negara persemakmuran Inggris dan
Australia selain di Amerika Serikat sendiri.
Sumber hukum dalam sistem hukum Anglo
Amerika ialah “putusan-putusan hakim/pengadilan” (judicial decision). Melalui
putusan-putusan hakim yang mewujudkan kepastian hukum, maka prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah hukum dibentuk dan menjadi kaidah yang mengikat umum. Di samping
putusan hakim, maka kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis
undang-undang dan peraturan administrasi negara diakui, walaupun banyak
landasan bagi terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis itu berasal dari
putusan-putusan di dalam pengadilan. Sumber-sumber hakim itu (putusan hakim,
kebiasaan dan peraturan administrasi negara) tidak tersusun secara sistematik
dalam hirarki tertentu seperti pada sistem hukum Eropa Kontinental. Selain itu
juga di dalam sistem hukum Anglo Amerika adanya “peranan” yang diberikan kepada
seorang hakim berbeda dengan sistem hukum Eropa Kontinental. Hakim berfungsi
tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan
peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu
membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang
sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan
prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain
untuk memutuskan perkara yang sejenis.
Sistem hukum Anglo Amerika menganut
suatu doktrin yang dikenal dengan nama “the doctrine of precedent / state
decisis “ yang pada hakikatnya menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara,
seorang hakim harus mendasarkan putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada
di dalam putusan hakim lain dari perkara sejenis sebelumnya (preseden). Dalam
hal tidak lain ada putusan hakim lain dari perkara atau putusan hakim yang
telah ada sebelumnya kalau dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, maka hakim dapat menetapkan putusan baru berdasarkan nilai-nilai
keadilan, kebenaran dan akal sehat (common sense) yang dimiliknya. Melihat
kenyataan bahwa banyak prinsip-prinsip hukum yang timbul dan berkembang dari
putusan-putusan hakim untuk suatu perkara atau kasus yang dihadapi, maka sistem
hukum Anglo Amerika secara berlebihan sering disebut juga sebagai Case Law.
Dalam perkembangannya, sistem hukum
Anglo Amerika itu mengenal pula pembagian “Hukum publik dan hukum privat”.
Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian
yang diberikan oleh sistem hukum Eropa Kontinental. Sedangkan bagi hukum privat
pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Anglo Amerika agak berbeda dengan
pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Eropa Kontinental. Kalau di dalam
sistem hukum Eropa Kontinental “ hukum privat lebih dimaksudkan sebagai
kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang yang dicantumkan dalam kodifikasi
kedua hukum itu”, maka bagi sistem Hukum Anglo Amerika pengertian “hukum privat
lebih ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (laws of contract) dan hukum tentang perbuatan melawan
hukum (laws of
torts) yang tersebar
di dalam peraturan-peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan hukum
kebiasaan.
3. sistem Hukum Adat
bahwa hukum Indonesia dan kesusilaan
masyarakat merupakan hukum Adat yang tidak dapat dipisahkan dan hanya mungkin
dibedakan dalam akibat-akibat hukumnya. Kata “hukum” dalam pengertian hukum
Adat lebih luas artinya dari istilah hukum di Eropa, karena terdapat
peraturan-peraturan yang selalu dipertahankan keutuhannya oleh pelbagai
golongan tertentu dalam lingkungan kehidupan sosialnya. Sistem hukum Adat
bersumber kepada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Dan hukum
Adat itu mempunyai tipe yang bersifat tradisional dengan berpangkal kepada
kehendak nenek moyang. Untuk ketertiban hukumnya selalu diberikan penghormatan
yang sangat besar bagi kehendak suci nenek moyang itu. Karenanya keinginan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu selalu dikembalikan kepada
pangkalnya kehendak nenek moyang, sebagai tolak ukur terhadap keinginan yang
akan dilakukan. Peraturan-peraturan hukum Adat juga dapat berubah tergantung
dari pengaruh kejadian-kejadian dan keadaan hidup yang silih berganti.
Perubahannya sering tidak diketahui bahkan kadang-kadang tanpa disadari
masyarakat, karena terjadi pada situasi sosial tertentu di dalam kehidupan
sehari-hari.Dari sumber hukum yang tidak tertulis itu, maka hukum Adat dapat
memperlihatkan kesanggupannya untuk menyesuaikan diri dan elastik. Misalnya,
kalau seorang dari Minangkabau datang ke daerah Sunda dengan membawa
ikatan-ikatan tradisinya, maka secara cepat ia dapat menyesuaikan dengan
tradisi daerah yang didatangi.
4. Sistem Hukum Islam
Sistem hukum ini semula dianut oleh
masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan penyebaran agama Islam.
Kemudian dikembangkan ke negara-negara lain di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika
secara individual atau kelompok. Sedangkan untuk beberapa negara di Afrika dan
Asia perkembangannya sesuai dengan pembentukan negara itu yang berasaskan
ajaran Islam. Bagi negara Indonesia walaupun mayoritas warga negaranya beragama
Islam, pengaruh agama itu tidak besar dalam bernegara, karena asas pembentukan
negara bukanlah menganut ajaran Islam. Sistem hukum Islam bersumber hukum
kepada:
a.
Quran,
yaitu kitab suci kaum muslimin yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Rasul
Allah Muhammad dengan perantaraan Malaikat Jibril. Sunnah Nabi, ialah cara
hidup dari Nabi Muhammad atau cerita-cerita (hadist) mengenai Nabi Muhammad.
b.
Ijma ialah kesepakatan para ulama besar
tentang suatu hal dalam cara bekerja (berorganisasi)
c.
Qiyas, ialah analogi dalam mencari
sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian. Cara ini dapat dijelmakan
melalui metode ilmu hukum berdasarkan deduksi dengan menciptakan atau menarik
suatu garis hukum baru dari garis hukum lama dengan maksud memberlakukan yang
baru itu kepada suatu keadaan karena persamaan di dalamnya.
B.
Mazhab
Sociological jurisprudence
Pertama
yang perlu dalam untuk mengetahui materi dan substansi dari mazhab ini adalah
dua hal yang berbeda dengan sosiologi hukum (sociology of law), karena
sosiologi hukum merupakan cabang dari sosiologi, sedangkan mazhab ini merupakan
cabang ilmu hukum.
Peletak
mazhab ini diantaranya Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardoza,
Kantorwich, dan Grvitch.[3]
Aliran
ini berkembang di amerika, pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa
hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Menurut aliran ini, hukum yang apik haruslah hukum yang sesuai
dengan hukum yang berkembang dalam masyarakat.[4]
Aliran
timbul dari proses dialektika antara (tesis) positivism hukum dan (antitesis)
mazhab sejarah, beberapa pendapat para ahli tentang mazhab ini diantaranya: menurut
Paton: berpendapat bahwa dalam
menamai mazhab ini kurang tepat jika disebut sociological jurisprudence karena
akan menimbulkan kekacauan, ia lebih senang menyebutnya dengan metode
fungsional (funcitional anthropoligical).[5]
Sedangkan
Roscoe Pound menyatakan perbedaanya
adalah bahwa mazhab ini merupakan teori hukum yang mempelajari pengaruh hukum
di masyarakat dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat.[6]
C.
Mahzab
Positivisme
Aliran Positivisme (Hukum
Positif) menyamakan
hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang, sehingga
harus diakui bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang (legisme).
Undang-undang dibuat oleh penguasa, oleh karena itu hukum merupakan perintah
dari penguasa dalam arti bahwa perintah dari pemegang kekuasaan yang paling
tinggi atau pemegang kedaulatan. Ada
tiga cabang yang muncul tentang positivisme di bidang hukum, yaitu :
1. Positivisme sosiologis, yang memandang
hukum sebagai gejala sosial saja. Sehingga hukum hanya dapat diselidiki melalui
suatu ilmu pengetahuan yang baru muncul pada waktu itu, yaitu sosiologi.
2. Positivisme yuridis,
yang memandang bahwa arti hukum itu sebagai gejala tersendiri, yaitu menurut
metode hukum positif.
3. Ajaran hukum umum, ajaran ini
merupakan ajaran yang dekat dengan positivisme yuridis,
pendapatnya bahwa kegiatan teoretis seorang ilmuwan terbatas pada uraian
tentang arti dan prinsip-prinsip hukum secara induktif-empiris saja.
Menurut John Austin yang juga penganut aliran positivisme,
bahwa hukum merupakan perintah dari penguasa, dengan merinci unsur-unsur
perintah sebagai berikut :
1. Adanya kehendak dari satu pihak
untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya itu.
2. Pihak yang diperintah itu akan
mengalami siksaan jika kehendak itu tidak dijalankan atau ditaati dengan baik.
3. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban
antara yang diperintah dengan yang memerintah.
4. Ketiga unsur di atas tidak akan
terlaksana jika yang memerintah itu bukan orang yang berdaulat.
John
Austin terkenal dengan pandangannya
tentang positivisme analitis yang diberi nama analytical
jurisprudence (ajaran hukum analistis). Aliran hukum positif yang
analitis mengartikan bahwa hukum itu sebagai perintah dari pembentuk
undang-undang atau penguasa (a command of the lawgiver), yaitu suatu
perintah dari orang-orang yang memegang kekuasaan tertinggi atau orang-orang
yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai sistem yang logis, tetap dan
bersifat tertutup. Hukum secara tegas dipisahkan dengan norma moral, dari hal
yang berkaitan dengan keadilan, serta tidak didasarkan atas pertimbangan atau
penilaian baik atau buruk.
Selain
pandangan mengenai aliran hukum positif analitis yang dikembangkan oleh John
Austin, terdapat pula aliran hukum positif yang bersifat murni
dikembangkan oleh Hans Kelsen yang bertolak dari
dua bentuk dan materi dalam bidang ilmu pengetahuan. Teorinya yang terkenal
dituangkan dalam bukunya yang berjudul :
1. Reine Rechtslehre (ajaran hukum murni), tahu
1934.
2. Algemeine Staatslehre (ajaran umum tentang negara),
tahun 1925.
3. General Theory of law and State (teori umum tentang hukum dan
negara), tahun 1945.
Hans Kelsen berpendapat
bahwa hukum bersifat normatif, hukum yang normatif adalah pengakuan hukum
sebagai hukum. Pengertian hukum yang murni juga diketengahkannya, bahwasanya
hukum itu perlu diselidiki justru sebagai hukum, yakni lepas dari
pandangan-pandangan terhadap hukum yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan
arti hukum sebagai hukum, yaitu segi psikologi, sosiologi, etis dan politis.
Pada pengertian hukum yang bersifat riil memang terdapat segi psikologi,
sosiologi, etis dan politis, oleh karena itu ada baiknya jika hal itu
diperhatikan juga, tetapi jika sampai pada suatu pengertian yang sifatnya
objektif murni tentang hukum perlu dibuat abstraksi dari segi tersebut.[7]
BAB
III
PEMBAHASAN
Dalam pengertiannya system hukum terdiri dari 4 jenis, yaitu :
a. Eropa
Kontinental
b. Anglo
saxon
c. Sistem
Hukum Adat
d. Sisitem
hukum Islam
Sebelum pembahasan
kepada analisis penulis terhadapat system hukum di Indonesia yakni Eropa
Kontinental sebagaimana sudah dijelaskan di latar belakang, namun penulis
kembali menekan kenapa Indonesia menjadi atau disebutkan menganut system eropa
kontinental.
Indonesia dalam
penerapan hukum, pertama ialah akan berkiblat kepada peraturan
perundang-undangan, tentunya hal itu ialah prinsip dari system hukum eropa
kontinental, selain itu juga hukum Indonesia juga memperhatikan hukum yang
berkembang dalam masyarakat (hukum adat), dan bahkan sumber dari pada hukum
indonesia menggunakan atau dikodifikasikan dari hukum islam tentunya hal ini
adalah anglo saxon.
System hukum yang
digunakan di Indonesia hingga saat ini masih menjadi perdebatan para ahli,
karena satu sisi tidak bisa disebutkan sebagai salah satu penganut system hukum
yang ada, namun sisi lain Indonesia menganut salah satu system hukum yakni
system eropa kontinental, karena kecondongannya.
System hukum Eropa Kontinental
adalah system hukum yang bercirikan menggunakan kodifikasi. Maksudnya adalah
kumpulan-kumpulan peraturan yang telah dibukukan yang mengikat dan mengatur. Sistem
Eropa Kontinental adalah system hukum yang menganut aliran Positivism. Karena
dalam pengertian dan ciri-ciri Eropa Kontinental adalah sejalan dan sama.
system ini dalam Aliran Positivisme bahwa hukum sebagai suatu system yang
logis, tetap dan bersifat tertutup ( closed logical system ), dan hukum secara
tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik
atau buruk. Maksud dari sifatnya yang tertutup adalah hukum tersebut tidak
dapat terlalu berkembang di masyarakat karena mereka menjamin kepastian dengan
cara mengkodifikasi peraturan tersebut sehingga hukum dianggap suatu yang telah
ada dalam kenyataan dan tidak perlu dipersoalkan.
Telah diketahui di awal bahwa aliran
positivism ini terdapt 2 jenis yaitu Analitistis dari John Austin dan Hukum
Murni menurut Hans Kelsen. Dan Eropa kontinental jika dilihat dari pandangan
Austin ini pada akhirnya hendaknya walau adanya moral yang berpengaruh
terhadapa masyarakat namun secara yuridis tidak penting bagi hukum karena hukum
dipisahkan antara moral disatu pihak dengan hukum di lain pihak. System hukum
Eropa Kontinental beraliran Positvisme dapat diketahui bahwa suatu system hukum
adlalah suatu hirarkis dari hukum. Dimana suatu ketentuan hukum tertentu
bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan
yang lebih tinggi adalah grundnorm/Norma Dasar yang bersifat hipotesis. Dan
ketentuan yang lebih rendah lebih kongkrit dari itu. Dengan begitu positivism
hukum seolah-olah menolak filsafat hukum namun secara diam-diam menyatakan
dirinya sebagai filsafat hukum. Ajaran filsafatnya adalah mengindentikan hukum
dengan tata hukum dalam versi Undang-undang, hukum yang tertulis, yang
merupakan pencerminan dari kehendak serta disahkannya oleh penguasa sesuai
dengan ajarannya adalah fisafat hukum positivistic.
Kelemahan aliran ini dalam system eropa kontinental
adalah peraturan-peraturan hukum itu dibuat supaya ada hukum tetapi bukan untuk
adanya peraturan hukum, yang kedua bahwa peraturan perundnag-undangan tadi
tidak dibutuhkan pengarapan secara terus menerus dan system ini lupa bahwa
kehidupan ini sifatnya dinamis.
Dan sedangkan analisis system hukum
eropa kontinental yang telah disebutkan diatas dengan menggunakan mahzab
sosiological yurisprudence dan mahzab positivisme yang dalam filsafat hukum
lebih khususnya, maka kedua mazhab ini tidak bisa dikatakan sebagai salah satu
dari setiap prinsip dari system hukum yang ada. Namun jika di kaitkan dengan
system hukum di Indonesia maka, kedua mazhab adalah yang termasuk di gunakan
dalam system hukum di Indonesia. Alasannya kembali lagi bahwa Indonesia ada
percampuran system yang digunakan dalam melihat tujuan hukum atau penggulingan
penegakan hukum di masyarakat, satu sisi system eropa kontinental, system hukum
islam, system hukum adat bahkan system
hukum anglo sexon.
BAB
IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Bahwa Indonesia merupakan Negara yang menganut
system Eropa Kontinental hal ini dapat dilihat dari sejarah dan politik
hukumnya, system sumber-sumber hukum maupun system penegakan hukum. Namun dalam
pembentukannya dipengaruhi oleh hukum islam dan hukum adat. Sistem hukum Eropa
Kontinental yang menganut mahzab positivism
dimana segala peraturan hukum identic dengan Undang-undang dan
menganggap kemampuan undang-undang sebagai hukum. Aliran ini juga berkeyakinan
bahwa undang-undang adalah obat segala-galanya meskipun pada kenyataannya
tidak, dan sisi lain menganut mazhab sosciological jurisprudence karena
Indonesia dalam penegakan hukumnya memperhatikan hukum yang hidup di
masyarakat.
B. SARAN
Indonesia
seharusnya menetukan system hukumnya dan meluruskan berjalannya system hukum,
karena bagaimanapun hukum yang ada akan kembali kepada masyarakatnya sendiri.
Oleh karena itu system yang ada seharusnya diperbaiki dan dijalankan
sebagaimana porosnya.
Selain
itu juga ada pepatah yang mengatakan “TIDAK ADA GADING YANG TAK RETAK” demikian
juga dengan makalah ini yang masih jauh dari sempurna, maka penulis
mengharapkan kritikan dan masukan demi perbaikan makalah ini ke depannya dan
pembelajaran dari penulis.
DAFTAR
PUSTAKA
Agus Santoso, 2014. Hukum, Moral, Dan Keadilan.
Yang Menerbitkan Kencana Prenada Media Group : Jakarta
Blostunian, system hukum yang dianut di Indonesia,
academia.edu, diakses tanggal 26 Oktober 2016.
Damang Averroes Al-Khawarizmi, NEGARA HUKUM: Socological Jurisprudence, http//negarahukum.com,
diakes tanggal 26 Oktober 2016
Darji Darmodiharjo & Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1995
Gelar Dwihandayani, Sociological jurisprudence,
http//sites.google.com, diakses tanggal 26 Oktober 2016 Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzhab
Sejarah, Usu Digital Library, 2003
Rasjidi.Lili, 2016, filsafat dan teori hukum , penerbit PT.
CITRA ADITYA BAKTI : Bandung
Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar
iLmu Hukum. Yang Menerbitkan Prestasi Pustakaraya : Jakarta
Zulkarnain, Kritik
Terhadap Pemikiran Hukum Madzhab Sejarah, Usu Digital Library, 2003
[1]
Blostunian, system hukum yang dianut di Indonesia, academia.edu, diakses
tanggal 26 Oktober 2016.
[2] Titik
Triwulan Tutik, 2006. Pengantar iLmu Hukum. Yang Menerbitkan
Prestasi Pustakaraya : Jakarta
[3]
Damang Averroes Al-Khawarizmi, NEGARA
HUKUM: Socological Jurisprudence, http//negarahukum.com, diakes tanggal 26
Oktober 2016
[4]
Gelar Dwihandayani, Sociological jurisprudence, http//sites.google.com, diakses
tanggal 26 Oktober 2016
[5]
Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran
Hukum Madzhab Sejarah, Usu Digital Library, 2003
[6] Darji
Darmodiharjo & Sidharta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Di Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995
[7] Agus
Santoso, 2014. Hukum, Moral,
Dan Keadilan. Yang Menerbitkan Kencana Prenada Media Group : Jakarta
Komentar
Posting Komentar