“Analisa Progresif Ke-manusia-an Berdasarkan Nilai-Nilai Islam Dalam Menjaga Tanggungjawab Ke-ummat-an dan Ideologi Bangsa”

 

“Analisa Progresif Ke-manusia-an Berdasarkan Nilai-Nilai Islam Dalam Menjaga Tanggungjawab Ke-ummat-an dan Ideologi Bangsa”

Oleh:

Hendrik Kiawan Wirantanus/ hendrickkiawan@gmail.com

 

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Assalamualaikum wr, wb.

Sebelum panjang lebar bersetubuh tentang Islam, alangkah lebih baiknya saya sedikit bercerita tentang perjalanan hidup dalam berjalan melalui dan menerima Islam dalam prespektif yang berbagai macam, yakni mulai dari Islam primitive menuju Islam progresif.

Saya lahir di pelosok salah satu desa yang berada di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Sebagai anak desa, saya harus belajar Islam sebagai pijakan hidup sehari-hari “konon katanya”. Artinya tidak boleh tidak belajar Islam haruslah menjadi asupan pertama kami, Islam yang primitive: segala macam ibadah ritualistik dan bahkan apabila kita berbicara Islam yang sedikit berbeda dari yang lain maka akan dianggap kafir, murtad dan lain-lain, jadi saya melihat berbicara Islam itu adalah suatu hal yang …..

Selain itu juga, saya lahir dari keluarga dan lingkungan yang pemahaman Islam tidak begitu mendalam dan cukup stagnan dengan pemahaman yang turun temurun, begitulah sedikit gambaran keluarga dan lingkungan saya selanjutnya mungkin bisa dibayangkan sendiri kondisi itu.

Singkat cerita, saya harus mengarungi hidup di pojok Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur ketika di usia Sekolah Menengah Pertama. Pondok Pesantren penganut syafii yang metode mengajar Islam secara murni sebagaimana zaman Muhammad dan para sahabat, mungkin terlalu nafik saya katakana jikalau tidak ada intervensi dengan zaman sekarang hanya saja saya tidak begitu yakin itu.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada paduka pengasuh dan ustad-ustad, saya harus sampaikan: Dengan segala upayanya pondok pesantren ini, yakni salah satunya dengan menjanjikan barokah sang pengasuh pondok pesantren agar nanti mendapatkan Ilmu yang bermanfaat dan lain-lain, bahkan menjanjikan akan didampingi nanti diakhirat jikalau mengikuti jejak langkahnya dalam ber-islam, hal ini disampaikan dalam wasiatnya. Sedikit perlu dijawab dalam hati oleh pembaca, “Bukannya Islam itu merupakan urusan individu?”.

Berikut 5 wasiat pengasuh:

1.      Santri sukorejo yang keluar dari NU, jangan berharap berkumpul dengan saya di akhirat.

2.      Santri saya yang pendiriannya tidak sama dengan saya, saya tidak bertanggunjawab di hadirat Allah SWT.

3.      Santri saya yang pulang atau berhenti harus ikut mengurusi dan memikirkan paling tidak salah satu dari tiga hal dibawah ini:

-          Pendidikan Islam

-          Dakwah Melalui NU

-          Ekonomi Masyarakat

“biar alim, biar kaya tapi tidak ikut salah satu tersebut, saya ingi tahu kesempurnaan hidupnya, sebaliknya biar bodoh, biar muskin, tapi ikut mengurusi atau cawe-cawe paling tidak salah satunya dengan ikhlas, rasakan sendiri kesempurnaannya”.

4.      Istiqomah baca Ratibul Haddad.

5.      Santri saya sebenarnya umum, anak siapa saja, dalam keadaan bagaimana saja, pasti selamat dan jawa asal jujur, giat dan ikhlas.

Sekarang ini, Saya mencoba mencermati bait demi bait pun tidak sampai memahami makna dan maksud dari wasiat ini, Nilai Islam berasal dari mana sebenarnya, dan melalui siapa?, dan teruntuk siapa?, ini bagaimana?.

Namun perlu saya sampaikan disini, pembelajaran tentang Islam tidak pernah saya ragukan sedikitpun, karena bersama-sama menjunjung Islam dalam artian kami disana. Seraya Sekolah Umum menjadi bumbu daripada kehidupan kami disana, boleh dikatakan nomor kesekian. Keterbatasan dengan masa itu, saya memutuskan untuk hanya menyelsaikan Sekolah Menengah Pertama disana.

Islam primitf saya tidak berhenti sampai disana, Pondok Pesantren Darul ‘Ulum, Jombang merupakan tempat selanjutnya. Mengatasnamakan modern, pondok pesantren ini tidak begitu menonjol di wilayah ke-Islam-annya, bahkan cenderung mengedepankan pendidikan umum: Sekolah Menengah Atas. Saya tidak berhasil membaca output yang diinginkan oleh pondok pesantren ini, hemat saya konseop modern yang gagal faham dan antara mungkin gagal metode/ praktisnya, dalam tanda kutip sangat mungkin saya salah memahami keadaan dan nawaitu nya pondok ini.

HmI dan Masa Remaja (masa ) memberikan pandangan baru terhadap konsep Islam, kebimbangan ini harus saya segera saya selesaikan, namun masih belum ada keberhasilan. Tumbuh kembang dengan segala kontradiksi difikiran sendiri merupakan keseharian dari diri saya, sehingga pada akhirnya menemukan konsep sendiri dalam memahami dan implementasikannya, yakni jalur tengah dari pemahaman primitive dengan islam progresif.

Saya berkesimpulan bahwa, pemahaman Islam merupakan permasalahan individu terlepas dari adanya pemanding dan indikatornya tersendiri. Namun bagi saya sampai dengan mala mini, begitulah kiranya saya berkesimpulan dengan ISLAM itu sendiri.

ISLAM itu Menyukai Kebaikan atau Kebenaran menuju kebaikan atau Kebenaran Mutlak, yang perjalanannya harus melihat dan menyikapi serta menyesuaikan pada zamannya – Progresif, berdasarkan Ke-manusia-an Nilai Islam harus tersalurkan bersama dengan individu manusia yang selajutnya disandingkan dengan dirinya yang berada dalam ke-ummat-an. Artinya kita dapat tunjukkan Islam itu sendiri melalui kebenaran dan sifat manusia sebagai individu dan sebagai ummat. Sebagai muslim (penganut islam), semestinya sadar akan peran dan tanggungjawab yang kompleks sebagai manusia.

Oleh karena itu, dalam karya tulis ini mencoba memberikan wacana intelektualdengan judul: Analisa Progresif Ke-manusia-an Berdasarkan Nilai-Nilai Islam Dalam Menjaga Tanggungjawab Ke-ummat-an dan Ideologi Bangsa”. Wassalamualaikum, wr, wb. SEKIAN!

Malang, 17 Desember 2017.

Hormat penulis.

Hendrik Kiawan Wirantanus


 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    LATAR BELAKANG

Bismillahirrahmanirrahim.

Kami tidak mengutus engkau wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (Qs. Al-anbiya 107).

Keberadaan Islam merupakan jawaban atas permasalahan peliknya berkehidupan, karena sebagaimana dalam ayat diatas bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan rahmat bagi seluruh alam dan hal itu merupakan risalah Islam. Jikalau islam ini rahmat, sedangkan lawan daripada rahmat ialah malapetaka atau bencana, apabila kita rumuskan dalam bentuk kalimat negasi maka, ada makna lain yang terkandung, sederhananya Islam tidak mungkin bencana bagi seluruh alam.

Permasalahan pokok dari segala peliknya kehidupan itu justru dalam banyak ayat Al-Qur’am menyebutnya bahwa itu tentang kualitas individu sebagai manusia, jikalau kita coba telisik dari sudut kefilsafatan makna dari ajaran yang demikian cukup dalam hanya individu ini belum tuntas memaknai tentang Islam itu sendiri (kurang dan terlalu mengada-ada). Selanjutnya dalam Islam kita ini menemukan dengan kata “iman”, “syirik” dan “kafir”. Kesemuanya itu merupakan peliknya individu manusia, hanya saja beberapa hal yang mencoba intervensi untuk merubah makna dari aslinya dalam fikiran atau pemahaman kita.

Al-Qur’an selain dari pedoman ummat manusia juga merupakan sumber dari semua, secara otomatis konsekuensi logis dari itu ialah dalam menyikapi segala dinamika kehidupan semestinya disandarkan dengan Al-Qur’an dan Hadist, beserta tafsirnya. Perlu menjadi catatan bagi kita semua dalam menafsirkan Al-Qur’an haruslah sesuai dengan syariat Islam itu sendiri.[1]

Beberapa ayat yang akan penulis sitir ini, termasuk yang mencoba memisahkan makna individu dan ke-ummat-an, antara lain: tentang iman dan syirik, Rasul hanya penyampai berita dan petunjuk seutuhnya hanya dari Allah berdasarkan kehendak-Nya, Hukuman dari Allah,dan tidak ada selain itu termasuk di dunia ini.[2] perbedaan kelompok dari penguasa dan yang dikuasai bagian dari kehendak Allah (sebagaimana dalam filsafat sejarah: Qabil dan Habil),[3] selain itu juga ada makna yang terkandung yang tentang kemerdekaan manusia sebagai hak dasar dan terakhirnya. Manusia bersama dengan alasan-alasan kelebihannya, tujuan keberadaanya, posisi diantara makhluk lainnya merupakan ciptaan yang paling logis mampu merubah dari keseluruhan dari peliknya permasalahan keummatan dan kebangsaan.

Singkatnya, setelah individu yang merdeka tersebut memiliki batasan hanya pada masalah ke-ummat-an, sebagaimana yang kita ketahui bahwa kemerdekaan yang ada pada ke-aku-an hanya ada pada satu orang, jikalau sudah disandingkan dengan ke-ummat-an maka, kemerdekaan tersebut harus terbatas.[4] Dengan keterbatasan tersebut ada alasan saling membutuhkan dan keterbatasan individu dalam melaksanakan segala sesuatu dengan sendiri.

Banyak nilai (velues) islam yang dapat kita jadikan pijakan dalam berkehidupan sebagai individu, ummat dan bangsa. Beberapa konsep ini diantaranya tentang ajaran Tuhan, Muhammad sang Pembebas, Konsep Keadilan sosial dan Keadilan Ekonomi,[5] singkatnya Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

Selain dari pada pokok diatas ada beberapa penjabaran yang lebih konkrit tentang nilai islam tersebut yang dapat dijadikan acuan, salah satunya konsep pendidikan islam yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Tobroni, M.Si,[6] bahwa pendidikan islam yang disampaikan ada karakteristik yang sangat khas terutama pada paradigmatik yang dipayungi aspek metafisika menuju dunia psikologis dan kajian yang mendalam malaui filsafat, spiritual beserta implementasinya.

Hari ini semesetinya melihat jauh kedepan tanpa mengurangi nilai Islam itu sendiri, apabila kita berbicara tentang pembaharuan dan pembangunan ummat dan bangsa. Tidak lagi mempermasalahkan perbedaan, justru menggunakan perbedaan tersebut sebagai jawaban atas permasalahan ummat dan bangsa hari ini. Dengan kompleksnya permasalahan ummat dan bangsa, banyak nilai islam yang dapat kita jadikan sebagai landasan atau pendekatan yang khsusus dari keseluruhan peliknya kondisi ummat dan bangsa, sebagaimana konsep keadilan, konsep sosial-ekonomi, dan konsep progresif lainnya.

Oleh karena itu, penulis berikhtiar menjawab dari keadaan yang demikian melalui wacana intektual sebagai muslim yang sadar, dalam wacana ini berjudul “Analisa Progresif Ke-manusia-an Berdasarkan Nilai-Nilai Islam Dalam Menjaga Tanggungjawab Ke-ummat-an dan Ideologi Bangsa”.

 

B.     RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang tersebut diatas, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai beikut:

1.      Bagaimanakah ke-manusia-an berdasarkan nilai-nilai islam?

2.      Bagaimanakah nilai-nilai islam dalam menjaga tanggungjawab ke-ummat-an dan ideologi bangsa?


 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

A.    NILAI ISLAM PROGRESIF.

Sesungguhnya Tuhan menyukai orang-orang yang berbuat baik (progresif) (Qs. Al-Maidah 93)

Sebenarnya masih banyak lagi ayat Al-Qur’an yang mengajarkan tentang kebaikan, termasuk ayat diatas. Kehadiran Islam merupakan jawaban atas segala permasalahan dan peliknya kehidupan, Islam hadir untuk menyelamatkan, membela dan menghidupkan keadilan dalam bentuknya yang paling konkret.[7]

Nilai-nilai Islam yang dinamis merupakan alasan dasar untuk mengatakan Islam itu cocok dengan segala zaman, hal ini terbukti dari ber-ubah-ubahnya kebutuhan manusia, dan kebutuhan manusia tersebut tentang tingkat yang lebih maksimum dalam keseimbangan dan tidak akan pernah selesai. Maksimum ini menunjukkan suatu arah gerak yang terus menerus daripada suatu tingkat tertentu. Namun perlu diketahui sebagaimana ungkapan penegasan dari Ahmad Wahib bahwa nilai-nilai Islam itu sebenarnya tetap, hanya saja penafsiran tentang nilai-nilai Islam itulah yang dinamis, mengikuti perkembangan pengetahuan manusia dalam mencari nilai-nilai tersebut.[8]

 

B.     KE-MANUSIA-AN DALAM ISLAM.

Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi (Qs. Al-Baarah 30).

Alangkah luhurnya nilai manusia dalam Islam, camkan itu!. Bahwa Tuhan bersama dengan dzat yang Maha Agung serta Maha Pencipta Segalanya memberi amanah sebesar itu, amanah mulia sebagai Wakil-Nya di muka bumi ini, artinya segala tugas Tuhan dalam alam semesta, sekarang manusia lah yang harus menjalankan tugas tersebut berdasarkan islam. Pengetahuan ilmiah dan filsafat pun dalam hal ini tidak mampu membayangkan kemuliaan itu.[9]

Sedangkan dalam Al-Qur’an memperkenalkan tiga istilah kunci (key term) yang digunakan untuk menunjukkan arti pokok manusia, yaitu al-insan (ukuran kemuliaan manusia), basyar (aspek biologis), dan an-nas (aspek sosiologis).[10] Hanya saja seringkali makna atau pemahaman tentang manusia tidak utuh, sehingga berakibat fatal bagi perlakuan seseorang terhadap sesame.

Masalah kemanusiaan sebenarnya merupakan pembahasan semua ajaran atau agama, hanya saja pembedanya ialah tentang dasar dari pembicaraan itu. Islam dalam hal ini membicarakan ke-manusia-an berlandaskan nilai Islam itu sendiri yang biasanya kita sebut dengan “Syariat” kemudian dikerjakan dengan ikhlas.

Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancari hati nurani yang hanief atau suci.[11]

 

C.    UMMAT DAN IDEOLOGI BANGSA

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan sebagian mereka adalah menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat keada Allah dan Rasul-Nya. (At-Taubah: 71).

Istilah ideologi yang terbentuk oleh kata ideo yang berarti pemikiran, khayalan, konsep, keyakinan dan sebagainya dan kata logi yang berarti logika,ilmu atau pengetahuan dari jabaran yang sedemikian rupa itu, maka dapat ditarik suatu definisi bahwasnya ideolgi adaalah ilmu tentang keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan.[12]

Dalam tahap konseptualisasi pancasila, tepat pada 1 Juni merupakan kelahiran pancasila dan diakuinya sebagai ideologi bangsa Indonesia yang sederhananya dalam musyawarah mufakat sehingga muncullah lima butir poin sebagaimana yang kita ketahui hari ini, kemudain dipertegas oleh Ir. Sekarno bahwa pancasila adalah suatu dasar falsafah, sebagai pemersatu juga untuk melenyapkan penyakit yang telah menggrogoti bangsa ini.[13]

Ummat dalam menjalani masa kini dan menyongsong masa depan bangsa semestinya tetap membawa nilai islam sebagai landasan untuk berbicara dan menjalankan ideologi bangsa menuju Negara Paripurna.[14] Tanggungjawab ke-ummat-an adalah alasan dasar untuk turut serta dalam merawat ideologi bangsa, dan sepenuhnya guna terwujudnya masyarakat adil, makmur yang di ridhoi Allah SWT.

Artinya diantara kita sebagai manusia ada tanggungjawab untuk saling mengingatkan kebajikan, bersama dengan itu juga ummat ada tanggungjawab atas proses kehidupan, termasuk dalam hal ini juga menjaga tanggungjawab ke-ummat-an itu sendiri dan idelogi bangsa yang merupakan dasar dari kita berbangsa.


 

BAB III

PEMBAHASAN

 

A.    ANALISA PRORESIF KE-MANUSIA-AN BERDASARKAN NILAI-NILAI ISLAM.

ISLAM adalah wahyu Tuhan yang mengajarkan seyogyanya menjadi individu yang progresif. Manusia dalam Islam bersama dengan segala keutuhan dan kelebihannya memiliki tanggungjawab lebih untuk menjaga keadilan dimuka bumi ini.

Bentuk keadilan ini sangat abstrak mengikuti perkembangan hidup manusia, yakni berdasarkan hak-haknya masing-masing. Hak dasar itu haruslah tercapai dengan hidup secara berdampingan. Penulis mengutip pendapat salah satu ahli yang berbicara tentang keadilan, yakni Plato: bahwa keadilan terbagi menjadi dua, yaitu : a. keadilan moral (penyeimbangan hak dan kewajiban), b. keadilan procedural (sesuai dengan aturan atau tata cara yang berlaku).

Atas dasar itulah bahwa keadilan merupakan pijakan untuk berbicara tentang kemanusiaan, dan itulah tanggungjawab manusia yang ada dimuka bumi ini. Tidak hanya satu golongan atau satu faham, namun manusia secara keseluruhan hanya saja perbedaan pijakanlah yang membuat ada suatu perbedaan tetapi tetap berdasarkan pada nilai-nilai ke-manusia-an sekaligus perintah untuk manusia secara keseluruhan.

Islam mengajarkan tentang keadilan yang selanjutnya berbicara nilai kemanusiaan yang menjadi langkah dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam Al-Qur’an sebagaimana ungkapan Nurcholish Madjid[15] dalam karya tulisnya bahwa keadilan disebutkan sangat banyak dalam berbagai konteks, selain perkataan adil (‘adl), untuk maknda keadilan dengan berbagai nuansanya, termasuk qisth, wasath, dan mizan (oleh ahli tafsir). Dari pengertian adil tersebut bertemu pada ide umum yakni tentang keseimbangan dan jujur. Selain itu juga Nurcholish Madjid[16] berbicara tentang kemanusiaan bahwa Islam mengajarkan manusia adalah makhluk kebaikan (fithrah) yang berpembawaan asal kebaikan dan kebeneran (hanif), kemudian ditegaskan berdasarkan pembunuhan Qabil atas Habil sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya, artinya agama mengajarkan masing-masing jiwa manusia mempunyai harkat dan martabat yang senilai dengan manusia sejagad.

Nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai islam itu sudah tertera jelas yang perlu kita fikirkan bersama dan juga aplikasikan bersama demi terjaganya suatu nilai tersebut. Nilai islam tidak menerima manusia yang stagnan demi menjaga kelebihan atau keunggulan manusia yang telah dibertikan Allah, konkritnya menjaga nilai ke-manusia-an itu sendiri sebagaimana Islma mengajarkan.

 

D.    ANALISA PROGRESIF  NILAI-NILAI ISLAM DALAM MENJAGA TANGGUNGJAWAB KE-UMMAT-AN DAN IDOLOGI BANGSA.

Bersama dengan itu juga, manusia memiliki tanggungjawab ke-ummat-an sebagai bagian dari suatu golongan tertentu, dan tanggungjawab idelogi bangsa sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Beranjak dari nilai-nilai islam bahwa seutuhnya manusia memiliki peran dan fungsi yang sangat penting sebagai makhluk yang memiliki kekutan berfikir dan segala kelebihan lainnya.

Dalam menjaga tanggungjawab ke-ummat-an manusia semestinya mengetahui peran dan fungsi sebagaiamana dijelaskan diatas, dan berdasarkan itu juga manusia dengan sendirinya bergerak kepada kepajikan bersama sebagai ummat. Ummat sebagai bagian atas dirinya, setelah menjadi individu manusia akan disandingkan sebagai manusia sebagai ummat, berbicara tentang ummat maka akan berbicara tentang hidup manusia antara satu dengan yang lainnya.

Ummat dalam bangsa Indonesia disebut sebagai masyarakat Indonesia, tanggungjawab menjaga idelogi bangsa adalah bentu dari menjaga masyarakat tersebut.

PANCASILA semenjak pengukuhannya sebagai ideologi bangsa merupakan tanggungjawab kita sebagai masyarakat Indonesia. Sedangkan apabila kita melihat dari isi pancasila tersebut merupakan upaya dari bangsa ini menjaga keadilan di negeri ini. langkah sederhanya yang bisa dilakukan pada saat ini ialah merawat keutuhan dari nilai-nilai yang ada didalam, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ide-ide beserta dengan implementasinya merupakan cara sederhananya yang bisa kita lakukan dalam menjaga kukuhnya pancasila dan sekaligus merupakan bentuk menjaga nilai-nilai islam sendiri. Pergerakan demi perkerakan adalah suatu keharusan bagi manusia, baik dalam rangka menjaga tanggungjawab ke-ummat-an ataupun menjaga ideologi bangsa.

Oleh karena itu sekaranglah saatnya untuk menentukan arah islam dan arah dari bangsa ini, dengan beberapa hal dasar sebagaimana yang sudah diuraikan diatas. Amin.


 

BAB IV

PENUTUP

 

A.    KESIMPULAN

Mengetahui dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan merupakan hal dasar yang harus diketahui oleh manusia. Nilai-nilai kemanusiaan merupakan kewajiban seluruh manusia tanpa melihat apa dasar untuk memperjuangkan.

Sedangkan Islam mengajarkan kemanusiaan berlandaskan nilai-nilai islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, artinya segala bentuk tindak tanduk dari ummat Islam haruslah bersumber dari Al-Qur’an As-Sunnah, atau kita kenal dengan istilah kewajiban.

Salah satu dari tanggungjawab manusia yang tertera dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah ialah menjaga tanggungjawab ke-ummat-an dan ideologi bangsa. Tanggungjawab ke-ummat-an yang dimaksud ialah menjalan tugas dan fungsi sebagai individu yang mengikuti agama Islam, sedangkan tanggungjawab untuk bangsa ini ialah merawat ideologi bangsa.

 

B.     SARAN

Dalam zaman seperti ini perlu kiranya melihat kembali kondisi kita sebagai manusia dan langkah apa yang harus kita lakukan, karena mengingat zaman sekarang ini memiliki permasalahan yang sangat kompleks, dan semesetinya mampu menyikapi dengan cara yang tepat dan tegas.

Hai alassolah, wa hai alalfalah.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, Bandung: Mizan, 1990.

---------------, Manusia dan Islam, Yogyakarta: Cakrawangsa, 2017.

Asgar Ali Engeneer,  Islam Dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), Jakarta: Kultura, 2007.

Djohan Effendi Ismed Natsir,  Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib “Disertai Komentar Pro dan Kontra”, Jakarta: LP3ES, 2003.

Nurcholish Madjid, Konsep-Konsep Keadilan Dalam Al-Qur’an Dan Kemungkinan Perwujudannya Dalam Konteks Zaman Modern, (Karya tulis dalam

------------------------, Agama Kemanusiaan, (Karya tulis dalam website: nurchlishmadjid.org, diakses tanggal 26 Desember 2017.

Ishak Hariyanto, Pandangan Al-Qur’an Tentang Manusia, (dalam jurnal online: www.download.portalgaruda.org,  Dosen IAIN Mataram), diakses tanggal 26 Desember 2017.

Jamal Al Banna, Al-Quran Kitab Pluralis, Yogyakarta: Barokah Press, 2010.

Said Muniruddin, Bintang Arasy: Visualisasi Skematis NDP HMI (Softfile.pdf), Aceh: MW Aceh & Badko HMI Aceh, diakses tanggal 26 Desember 2017.

Soekarno, Pantja-sila sebagai dasar Negara: Jilid 1, Jakarta: Kementrian Penerangan,1958.

Tobroni, Pendidikan Islam: Dari Dimensi Paradigm Teologis, Filosofis Dan Spiritualitas, Hinnga Dimensi Praktis Normatif, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015.

Yudi Latif, dalam buku Negara Paripurna, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2015. website: nurcholishmadjid.org, diakses tanggal 26 Desember 2017.



[1] Ishak Hariyanto, Pandangan Al-Qur’an Tentang Manusia, (dalam jurnal online: www.download.portalgaruda.org,  Dosen IAIN Mataram), diakses tanggal 26 Desember 2017.

[2] Jamal Al Banna, Al-Quran Kitab Pluralis, Yogyakarta: Barokah Press, 2010.

[3] Ali Syari’ati, Manusia dan Islam, Yogyakarta: Cakrawangsa, 2017.

[4] Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), Jakarta: Kultura, 2007.

[5] Ibid.

[6] Tobroni, Pendidikan Islam: Dari Dimensi Paradigm Teologis, Filosofis Dan Spiritualitas, Hinnga Dimensi Praktis Normatif, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015.

[7] Asgar Ali Engeneer,  Islam Dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

[8] Djohan Effendi Ismed Natsir,  Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib “Disertai Komentar Pro dan Kontra”, Jakarta: LP3ES, 2003.

[9] Ali Syari’ati, Op. cit.

[10] Said Muniruddin, Bintang Arasy: Visualisasi Skematis NDP HMI (Softfile.pdf), Aceh: MW Aceh & Badko HMI Aceh, diakses tanggal 26 Desember 2017.

[11] Azhari Akmal Tarigan, Op. cit.

[12] Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, Bandung: Mizan, 1990.

[13] Soekarno, Pantja-sila sebagai dasar Negara: Jilid 1, Jakarta: Kementrian Penerangan,1958.

[14] Istilah Negara Paripurna yang digunakan Yudi Latif, dalam buku Negara Paripurna, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2015.

[15] Nurcholish Madjid, Konsep-Konsep Keadilan Dalam Al-Qur’an Dan Kemungkinan Perwujudannya Dalam Konteks Zaman Modern, (Karya tulis dalam website: nurchlishmadjid.org, diakses tanggal 26 Desember 2017.

[16] Nurcholish Madjid, Agama Kemanusiaan, (Karya tulis dalam website: nurchlishmadjid.org, diakses tanggal 26 Desember 2017.

Komentar